Fenomena
perbedaan penetapan awal Ramadhan 1433 kembali terjadi di Indonesia. Tidak
adanya lembaga atau badan yang memeliki otoritas tunggal dalam membuat
keputusan, membuat masyarakat, di satu sisi, bebas menetapkan awal Ramadhan, dan di sisi
lain, bingung mau mengikuti ketetapan yang mana. Sidang isbat yang digelar
secara terbuka dan disiarkan langsung oleh stasiun televisi juga menjadi pemicu
perbedaan sikap antar ummat Islam.
Menteri
Agama Suryadharma Ali yang memimpin sidang isbat penetapan awal Ramadhan 1433
di Kementerian Agama pada hari Kamis (19/7/2012) menetapkan tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, 21 Juli
2012. Keputusan ini diambil setelah
memperhatikan masukan dan hasil hisab dari berbagai Organisasi masyarakat (Ormas) dan hasil rukyah dari 38 tempat di
seluruh Indonesia. Hadir dalam sidang isbat ini adalah Wakil Menteri Agama RI,
Wakil Komisi VIII DPR-RI, perwakilan dari Kedutaan Besar Negara-Negara Islam di
Jakarta, perwakilan dari Ormas, diantaranya NU, PERSIS, Al-Washliyah, dan
pejabat di lingkungan Kementerian Agama.
Ormas
Muhammadiyah tidak turut hadir dalam acara tersebut. Namun Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, melalui surat edarannya, telah menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada
tanggal 20 Juli 2012, hari Jumat. Penetapan ini didasarkan dari hasil hisab.
Karena sudah menetapkan awal Ramadhan melalui hisab tersebutlah, Muhammadiyah
tidak perlu lagi mengikuti sidang isbat. Karena itu sejak tadi malam, pengikut
Ormas Muhammadiyah di seluruh Indonesia telah menunaikan shalat tarwih dan
melakukan puasa pada hari ini, Jumat (20/7/2012).
Sementara
itu, tim rukyah dari yayasan Al-Husniyah di Cakung Jakarta Timur menyatakan
telah melihat hilal pukul 17.59 pada posisi 3.5 derajat. Tim yang dipimpin oleh
H. Labib tersebut telah mengambil sumpah dan menyampaikan hasil rukyah ke
Kementerian Agama RI. Namun hasil rukyah tersebut tidak diterima, bahkan
dibantah oleh Ormas lain.
“Saya
meragukan keabsahan hasil rukyah di Cakung sebab tim rukyah hanya terdiri dari
orang-orang tertentu saja dan ini terjadi setiap tahun. Oleh sebab itu
Kementerian Agama perlu melakukan klarifikasi lebih lanjut terhadap hasil rukyah di Cakung”, ucap seorang perwakilan Ormas dalam sidang
isbat tersebut.
Perdebatan
dalam sidang isbat tersebut sebenarnya justru memperuncing perbedaan dan memicu renggangnya ukhuwah
Islamiyah di kalangan ummat Islam. Dalam hal ini Indonesia perlu belajar dari
negara tetangga Malaysia. Pada tahun
1970-an, di Malaysia pernah terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan tanggal
satu Syawal. Dari semua kerajaan negeri yang ada, ada dua kerajaan negeri yang
berbeda. Menyikapi hal ini akhirnya pemerintah Malaysia menetapkan adanya
sebuah lembaga yang memiliki otoritas dalam penetapan awal Ramadhan dan satu
Syawal. Mereka yang tidak mengikuti keputusan pemerintah dikenakan sanksi.
Mulai saat itu sampai sekarang di Malaysia tidak terjadi lagi perbedaan
penetapan awal Ramadhan dan satu Syawal.
Karena
selalu terjadi perbedaan, di kalangan masyarakat beredar joke atau humor
sebagai berikut. “Jika penghitungan hisab dan rukyah awal Ramadhan antara
Pemerintah dan Ulama tidak mencapai kesepakatan di atas 50%, maka puasa 1433
akan dilaksanakan sampai dua putaran”.
Sebagai
solusi, sidang isbat tidak perlu digelar secara terbuka dan dihadiri sekian
banyak undangan. Sebaiknya cukup dilakukan secara tertutup dengan melibatkan unsur
pemerintah, ormas, dan tokoh masyarakat. Hasilnya baru diumumkan secara terbuka
oleh lembaga independen tersebut, misalnya MUI. Jadi Kementerian Agama tidak
lagi mengurusi penetapan awal Ramadhan dan satu Syawal. (BangS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar