Kamis, 19 Juli 2012

SIDANG ISBAT TIDAK PERLU DIGELAR SECARA TERBUKA


Fenomena perbedaan penetapan awal Ramadhan 1433 kembali terjadi di Indonesia. Tidak adanya lembaga atau badan yang memeliki otoritas tunggal dalam membuat keputusan, membuat masyarakat, di satu sisi,   bebas menetapkan awal Ramadhan, dan di sisi lain, bingung mau mengikuti ketetapan yang mana. Sidang isbat yang digelar secara terbuka dan disiarkan langsung oleh stasiun televisi juga menjadi pemicu perbedaan sikap antar ummat Islam.

Menteri Agama Suryadharma Ali yang memimpin sidang isbat penetapan awal Ramadhan 1433 di Kementerian Agama pada hari Kamis (19/7/2012) menetapkan tanggal 1  Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, 21 Juli 2012.  Keputusan ini diambil setelah memperhatikan masukan dan hasil hisab dari berbagai Organisasi masyarakat  (Ormas) dan hasil rukyah dari 38 tempat di seluruh Indonesia. Hadir dalam sidang isbat ini adalah Wakil Menteri Agama RI, Wakil Komisi VIII DPR-RI, perwakilan dari Kedutaan Besar Negara-Negara Islam di Jakarta, perwakilan dari Ormas, diantaranya NU, PERSIS, Al-Washliyah, dan pejabat di lingkungan Kementerian Agama.

Ormas Muhammadiyah tidak turut hadir dalam acara tersebut. Namun Pimpinan Pusat Muhammadiyah, melalui surat edarannya, telah menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 20 Juli 2012, hari Jumat. Penetapan ini didasarkan dari hasil hisab. Karena sudah menetapkan awal Ramadhan melalui hisab tersebutlah, Muhammadiyah tidak perlu lagi mengikuti sidang isbat. Karena itu sejak tadi malam, pengikut Ormas Muhammadiyah di seluruh Indonesia telah menunaikan shalat tarwih dan melakukan puasa pada hari ini, Jumat (20/7/2012).

Sementara itu, tim rukyah dari yayasan Al-Husniyah di Cakung Jakarta Timur menyatakan telah melihat hilal pukul 17.59 pada posisi 3.5 derajat. Tim yang dipimpin oleh H. Labib tersebut telah mengambil sumpah dan menyampaikan hasil rukyah ke Kementerian Agama RI. Namun hasil rukyah tersebut tidak diterima, bahkan dibantah oleh Ormas lain.

“Saya meragukan keabsahan hasil rukyah di Cakung sebab tim rukyah hanya terdiri dari orang-orang tertentu saja dan ini terjadi setiap tahun. Oleh sebab itu Kementerian Agama perlu melakukan klarifikasi  lebih lanjut terhadap hasil rukyah di Cakung”,  ucap seorang perwakilan Ormas dalam sidang isbat tersebut.  

Perdebatan dalam sidang isbat tersebut sebenarnya justru memperuncing  perbedaan dan memicu renggangnya ukhuwah Islamiyah di kalangan ummat Islam. Dalam hal ini Indonesia perlu belajar dari negara tetangga Malaysia.  Pada tahun 1970-an, di Malaysia pernah terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan tanggal satu Syawal. Dari semua kerajaan negeri yang ada, ada dua kerajaan negeri yang berbeda. Menyikapi hal ini akhirnya pemerintah Malaysia menetapkan adanya sebuah lembaga yang memiliki otoritas dalam penetapan awal Ramadhan dan satu Syawal. Mereka yang tidak mengikuti keputusan pemerintah dikenakan sanksi. Mulai saat itu sampai sekarang di Malaysia tidak terjadi lagi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan satu Syawal.

Karena selalu terjadi perbedaan, di kalangan masyarakat beredar joke atau humor sebagai berikut. “Jika penghitungan hisab dan rukyah awal Ramadhan antara Pemerintah dan Ulama tidak mencapai kesepakatan di atas 50%, maka puasa 1433 akan dilaksanakan sampai dua putaran”.

Sebagai solusi, sidang isbat tidak perlu digelar secara terbuka dan dihadiri sekian banyak undangan. Sebaiknya cukup dilakukan secara tertutup dengan melibatkan unsur pemerintah, ormas, dan tokoh masyarakat. Hasilnya baru diumumkan secara terbuka oleh lembaga independen tersebut, misalnya MUI. Jadi Kementerian Agama tidak lagi mengurusi penetapan awal Ramadhan dan satu Syawal. (BangS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar