Karakter atau moral merupakan ciri dari sebuah civil society atau masyarakat madani.
Untuk menanamkan karakter tidak diperlukan materi khusus pendidikan karakter,
tetapi harus diintegrasikan dengan semua
mata pelajaran. Penerapan pendidikan karakter tidak hanya dibebankan kepada pemerintah,
tetapi harus melibatkan semua pihak dan pemangku kepentingan, mulai dari sektor
pendidikan informal di rumah, pendidikan formal di sekolah, dan pendidikan
nonformal di masyarakat. Pendidikan Islam memiliki sumbangan yang sangat luar
biasa dalam menciptakan kesalehan pribadi (individu) yang pada akhirnya
menciptakan kesalehan sosial sebagai pilar hidup bermasyarakat dan bernegara.
Demikian salah satu kesimpulan dari seminar dan
temu ilmiah nasional dengan tema “Peran Psikologi dan Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Bangsa” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi UIN Jakarta bekerjasama dengan Asosiasi
Psikologi Islami (API) di Auditorium Harun Nasution UIN Jakarta (17-18 Juli
2012). Tampil sebagai nara sumber adalah Prof. Dr.Dede Rosyada, MA Direktur
Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI, Dr. K.H. Hasyim Muzadi Pimpinan
Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Subandi, Ph.D Ketua API, dan Jahja Umar,
Ph.D Dekan Fakultas Psikologi. Acara ini dibuka oleh Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat Rektor UIN SYarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai keynote speaker.
Hasyim Muzadi menyoroti kegagalan pendidikan
karakter bangsa disebabkan oleh lemahnya sistem dan kepemimpinan di Indonesia.
Sistem yang ada masih belum terpadu, misalnya nilai-nilai dari Pancasila, belum
sepenuhnya terkonstitusionalisasi dalam Undang-Undang Dasar atau UUD. Banyak
lobang yang bocor dalam UUD pasca reformasi, sehingga tidak memiliki tata nilai
ideologi, baik di bidang ekonomi, politik, kebudayaan, maupun bidang
pendidikan, sehingga ketika sebuah norma diejawantahkan oleh sebuah aturan yang
tidak klop, maka norma itu akan tertindih oleh institusi itu sendiri.
“Oleh karena itu mutlak diperlukan perubahan
sistem, yaitu sebuah sistem yang utuh, terpadu, dan bertanggungjawab untuk
membentuk karakter kebangsaan. Sistem ini menyangkut masalah ideologi, negara,
institusi, perudangan, dan kebijakan”, ungkap mantan Ketua PB NU tersebut
seraya menambahkan lemahnya sistem ini menyebabkan bergesernya nilai-nilai
moral. Nilai kemanusiaan telah bergeser menjadai kekerasan, nilai persatuan
telah bergeser menjadi disintegrasi, nilai kemasyarakatan bergeser menjadi
sikap individualistik.
Civic
Education
Dede Rosyada berpandangan bahwa pendidikan agama di
madrasah dan perguruan tinggi tidak
didesain untuk menghasilkan ahli agama,
tetapi untuk menjadikan santri yang profesional, yaitu santri yang memiliki
sifat-sifat dan karakter terpuji, cerdas serta berdaya saing. Pribadi yang
cerdas adalah yang memiliki keseimbangan antara aspek spiritual, intelektual,
emosional, dan kinestetik.
Lebih lanjut Dede Rosyada mengatakan Civic Education sangat penting dalam
pembentukan karakter. Dari penelitian eksperimen yang ia lakukan saat memimpin
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, telah menghasilkan buku Civic Education masih digunakan sampai sekarang.
Berbeda dengan Dede Rosyada, Hasyim Muzadi
berpendapat bahwa civic education
yang ada sekarang ini belum memberi gambaran yang utuh tentang sistem nilai dan
sistem perundang-undangan yang ada. “Undang-undang yang ada sekarang bukan
produk dari pendidik, tetapi produk dari politisi. Ketika undang-undang
diturunkan menjadi kebijakan pemerintah, banyak aspek yang tidak relevan dengan
aspirasi masyarakat”, ungkap Hasyim Muzadi seraya menambahkan di negara maju
tidak cukup hanya ada civic education,
tetapi sudah ada excellence education. .
Terhadap permasalahan karakter bangsa yang ada
sekarang, Hasyim Muzadi memberikan solusi bahwa selain perbaikan sistem dan
kepemimpinan, proses transformasi dari norma ke implementasi memerlukan proses
internalisasi atau penghayatan dan keteladanan dari semua pihak.Tanpa
internalisasi dan keteladanan, mustahil pendidikan karakter akan berhasil.
Jahja Umar Dekan Fakultas Psikologi, memberikan
apresiasi dan saran terhadap peran dan fungsi API dalam pengembangan kajian
psikologi Islami. “Selama ini penelitian psikologi Islami masih sedikit karena
penelitian yang ada masih terbatas pada wacana-wacana sehingga kurang mendorong
aplikasi psikologi”, ucap Jahja Umar ketika menutup acara seminar dan temu
ilmiah nasional di ruang sidang fakultas psikologi.
Jahja Umar juga mendorong API untuk melakukan
kerjasama yang sifatnya akademik dan
penelitian. Melalui kegiatan seperti ini eksistensi API akan semakin dikenali
dan diakui oleh banyak pihak. (BangS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar