Rasa lega dan puas memenuhi
pikiran dan hati saya saat panitia 2011 International
Conference on Creativity and Innovation for Sustainable Development di Internasional Islamic
University Malaysia (IIUM) mengirimkan pemberitahuan kepada saya bahwa paper
saya diterima, seperti terungkap di bawah ini.
“Dear
Participant, Thank you for submitting
your full paper to be presented at the forthcoming Conference for the
conference 2011 International Conference on Creativity and Innovation for
Sustainable Development to be held in the International Islamic University,
September 12-14th 2011.”
Judul paper saya adalah Islamization and Integration of Knowledge:
Indonesian Experience: A case study of Syarif Hidayatullah State Islamic University. Penelitian
ini saya lakukan selama tiga bulan (April-Juni) dengan dua pendekatan, yaitu
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Paper setebal 22 halaman ini dibagi
menjadi beberapa subbab, yaitu pendahulun, UIN dalam perspektif sejarah, konsep
integrasi ilmu pengetahuan, keunikan model integrasi ilmu pengetahuan di UIN
dan implikasinya dalam kurikulum, kendala dan solusinya, serta kesimpulan.
Sebelum ini, tepatnya
tanggal 30-31 Juli 2011, saya juga
telah mempresentasikan paper saya dengan judul The Role of Higher
Institution in Harmonizing the Religion and Sciences: Indonesian Experiences A
Case Study at Syarif Hidayatulah State Islamic University Jakarta, dalam
seminar internasional di University of Nagoya Jepang. Alhamdulillah, untuk acara ini saya mendapat bantuan dana
dari UIN Jakarta sebesar Rp. 4.900.000 dari dana yang dibutuhkan sebesar Rp.
11.500.000 (tiket Garuda Jakarta-Narita RP. 8 juta, Visa Rp, 300.000,
transportasi dari Narita ke Nagoya Rp. 2.500.000, hotel transit (satu malam) menunggu kepulangan Rp. 500.000
dan taksi di Jakarta Rp. 200.000). Dalam seminar di Jepang ini, sebagai
pemakalah saya tidak dimintai membayar kontribusi keikutsertaan.
Berbeda dengan seminar di
Jepang, untuk mengikuti konferensi di IIUM tersebut, sebagai pemakalah dikenai
biaya 300 USD (Rp. 2.580.000) untuk iuran keikutsertaan (participation fee), tiket pulang pergi Jakarta-Kuala Lumpur (Rp.
1.000.000 dengan Lion Air), dan penginapan selama empat malam RM 200 (Rp.
600.000), ditambah transport lokal dan airport tax kurang lebih Rp. 500.000.
Jadi total biaya untuk ikut konferensi tersebut adalah Rp. 4.680.000. Biaya
partisipasi sudah saya bayar dengan uang pribadi tanggal 28 Juni 2011 karena
akhir pembayaran adalah tanggal 30 Juni 2011. Sedangkan tiket saya beli pada
awal Juli sehingga mendapat harga relative murah.
Biaya tersebut, menurut
hemat saya, tidak sedikit untuk ukuran dosen di sebuah perguruan tinggi di
Indonesia. Tetapi untuk ukuran sebuah institusi pendidikan tinggi seperti UIN
Jakarta, biaya tersebut sangat kecil dibanding manfaat yang didapat.
Mengingat Fakultas Psikologi
tidak memiliki dana untuk perjalanan ke luar negeri tahun 2011 ini, maka saya
berinisiatif untuk mengajukan bantuan dana ke Rektorat melalui Pembantu Rektor
Bidang Admnistrasi Umum dan Pembantu Rektor Bidang Kerjasama Kelembagaan. Surat saya kirimkan tanggal 27 Juli 2011
dengan melampirkan abstrak paper, surat penerimaan paper dari panitia
konferensi di IIUM, dan jumlah biaya yang dibutuhkan.
Sampai tanggal 8 September
2011, saat halal bi halal UIN Jakarta, saya belum mendapat informasi apakah
permohonan saya diterima atau ditolak. Karena waktu keberangkatan sudah dekat,
maka seusai halal bi halal saya mengecek ke bagian keuangan universitas. “Belum
ada disposisi dari Pak Amsal”. Demikian jawaban singkat yang diberikan oleh
bagian keuangan.
Dengan alasan tersebut dan
mengingat semakin dekatnya hari keberangkatan saya ke Malaysia (11 September
2011, Ahad,jam 9 dengan Lion Air), saya memberanikan diri kirim pesan singkat
(SMS) ke Pembantu Rektor II dan Pembantu Rektor IV.
“Mohon maaf Pak Amsal dan
Pak Jamhari. Pada tanggal 27 Juli 2011 saya mengajukan permohonan bantuan dana
untuk presentasi paper dan mengikuti konferensi internasional di IIUM. Saya
sudah mengecek ke bagian keuangan dan dijawab belum ada disposisi dari Bapak.
Mohon konfirmasi apakah permohonan saya diterima atau tidak. Karena tidak ada
dana dari fakultas, saya perlu mengusahakan dari tempat lain”. Demikian isi
pesan singkat saya.
Dalam
waktu tidak lama saya mendapat jawaban
dari Purek IV.
“Sudah
saya disposisikan ke Pak Amsal”.
“Terimakasih
pak Jamhari” jawab saya singkat seraya berharap permohonan saya dikabulkan
apalagi hari ini baru jabat tangan dalam halal bi halal dengan pimpinan UIN,
mulai dari Rektor, Pembantu Rektor sampai kepada staf.
Jawaban
Pak Jamhari tersebut membuat saya semakin semangat dan girang. Meskipun saya
tidak tahu apa isi disposisi dari Pak Jamhari.
Pak Amsal sebagai pemegang
komando juga belum menjawab pertanyaan saya. Saat itu saya masih optimis
permohonan diterima walaupun hanya sebagian saja, sekedar untuk menutup biaya
partisipasi atau tiket.
Sekitar
pukul 16.05 sore, Kamis (8/9/11), tiba-tiba ada SMS masuk ke
handphone saya. Dari pengirimnya tertulis Amsal Bakhtiar. Alhamdulillah
akhirnya dapat jawaban juga. Demikian gumamku dalam hati sebelum membuka SMS
tersebut.
Namun
kegembiraan saya mulai berubah ketika pesan saya buka, ternyata isinya adalah
“Diprioritaskan yang lain Pak karena Pak Bambang sudah dua kali ke luar negeri”.
Artinya permohonan saya ditolak.
Sejenak
saya berpikir bagaimana menjawab SMS
ini. Di satu sisi akal sehatku berontak dan protes. Tapi di sisi lain saya bingung bagaimana mengungkapkannya
kepada Pak Amsal yang nota bene senior saya ketika di Gontor dulu. Pada saat
yang bersamaan, tangan saya dengan dipandu hati kecilku menulis “Nasykurukum syukran jazilan Ustadh ala
ihtimamikum”. Artinya Terimakasih banyak Ustadh atas perhatiannya. Saat itu juga langsung dibalas oleh Pak Amsal
“Sama-sama”.
Usai
shalat maghrib, pikiran saya masih belum tenang meskipun tiket pesawat sudah di
tangan.Timbul berbagai pertanyaan sebagai berikut.
1.
Kenapa pimpinan UIN tidak mengapresiasi hasil karya
ilmiah seorang dosen yang akan dipaparkan dalam konferensi internasional dengan
alasan prioritas untuk yang lain? Apakah mereka tidak tahu konferensi atau
seminar seperti ini tidak sama dengan jalan-jalan biasa (plesir)?
2. Berapa orang sih yang
mendapat kesempatan untuk memaparkan hasil penelitiannya dalam kancah
Internasional sehingga harus ada prioritas segala?
3. Berapa sebenarnya dana yang
tersedia di universitas untuk kegiatan ilmiah seperti ini? Mengapa tidak
seorang dosen pun –termasuk saya-- yang tahu alokasi dana ini?
4.
Presentasi paper dalam konferensi internasional
seperti ini bukan jalan-jalan biasa, tetapi ini perjalanan intelektual (intellectual journey) tetapi mengapa
tidak didukung? Sementara
pada awal Juli 2011 yang lalu, universitas bisa memberangkatkan puluhan orang
(mulai dari Kepala Biro, Kepala Pusat, Darmawanita, sampai Kasubbag), ke Jepang
dengan tujuan melakukan monitoring perkembangan akademik dosen FKIK yang sedang
kuliah di sana? Apa hasil kunjungan tersebut?
Jawabannya Mana getehe kata orang
Betawi. Saya yakin, tidak sedikit biaya
yang dikeluarkan untuk perjalanan dinas atau lebih tepatnya disebut
‘jalan-jalan biasa” tersebut.
Untuk
mengurangi rasa kecewa dan gundah di hati, saya menyampaikan (curhat) kepada
seorang teman dekat yang ikut rombongan
UIN jalan-jalan ke Jepang. Maaf sengaja tidak saya sebutkan namanya. Teman saya tersebut memberi penjelasan
sebagai berikut.
“Ini
karena sistem yang ada tidak jelas, dan seharusnya di pusat sudah dianggarkan untuk kegiatan seperti ini”
seraya menambahkan jika saya pemegang kebijakan
pasti saya bantu karena nilainya juga signifikan dan jelas
peruntukannya, meskipun tidak menutup untuk seluruh biaya yang diperlukan.
Kondisi
di atas mengingatkan saya kepada ungkapan seorang Dekan di sebuah fakultas di
UIN ketika mengomentari perilaku para pejabat di negara Indonesia. “They are serving
themselves NOT serving the people”.
Menurut
saya ada benarnya juga ungkapan tersebut jika dihubungkan dengan para pejabat
di UIN. Biaya tiket Jakarta-Kuala Lumpur (Rp. 1.000.000) masih lebih sedikit
dibandingkan biaya bahan bakar dan tol
untuk mobil dinas seorang pimpinan UIN dalam satu bulan. Apalagi saya tidak
pernah terpikir untuk mencari keuntungan materi
dari kegiatan konferensi ini.
Seandainya
saya pada posisi yang membuat kebijakan, maka kalaupun tidak disetujui semua
biaya, akan saya berikan bantuan meskipun
nominalnya terbatas. Ya sekedar cukup untuk naik taksi ke bandara
atau sekedar untuk bayar air port tax. Sebab presentasi paper dalam forum ilmiah internasional bukan jalan-jalan
biasa.
Jika
permohonan itu disetujui, meskipun sedikit saja, bagi saya yang mengajukan
bantuan dana, sudah sangat bersyukur sekali. Karena ada apresiasi terhadap karya ilmiah yang sudah saya lakukan.
Akhirnya saya jadi ingat tulisan rektor UIN di Kompas pada bulan Ramadhan
yang lalu, seorang pemimpin itu hendaknya mampu mendengarkan apa yang tidak
terucap oleh rakyatnya, merasakan apa yang tidak tersurat dan membaca apa yang
tidak tertulis. Itulah pemimpin yang selalu berada di hati rakyat.
Semoga
pada masa mendatang terjadi perubahan
yang lebih baik dalam pengelolaan manajemen keuangan di lembaga tercinta ini
untuk kepentingan seminar, konferensi atau forum ilmiah lainnya. Karena
seminar, konferensi dan forum ilmiah tidak sama dengan jalan-jalan biasa.
Semoga. Amin.
Ciputat,
10 September 2011
Bambang S
Hal ini seperti yang umumnya dialami para mahasiswa Pak :(
BalasHapusTetap semangat untuk berkarya pak
BalasHapusterima kasih atas ceritanya pak. Itu hal yang sering terjadi. Kurangnya fee dalam konferensi. Semoga bapak terus berkarya. Salam kenal.
BalasHapus#khoirus mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura