Sabtu, 18 Juni 2016

GONTORIANA-2 SENANG, PUNYA CELANA PANJANG




"Saya tidak boleh cengeng. Saya tidak boleh bersedih. Urusan celana panjang, harus segera saya atasi. Jika tidak, saya akan tetap mengurung diri di kamar dan ketinggalan pelajaran. Bisa tidak lulus saat ikut ujian masuk Pondok Gontor pada bulan Syawal", demikian self talk yang saya lakukan kepada diri saya, beberapa hari setelah mukim Ramadhan di Gontor.

Dengan bekal uang sangu pemberian ayah, saya membeli kain. Saya sudah lupa, berapa harganya saat itu. Yang masih saya ingat, kain celana itu warna coklat.

"Bapak, kalau menjahitkan celana yang paling cepat, berapa hari?", tanyaku kepada tukang jahit di dekat Pondok.

"Paling cepat empat hari. Normal satu minggu", jawab tukang jahit.

"Kalau tiga hari bisa nggak Pak? Sebab saya tidak punya celana panjang. Saya sudah izin dua hari tidak masuk kelas. Berarti jika harus menunggu empat hari, saya ketinggalan kelas enam hari", jelasku.

"Saya usahakan jadi tiga hari", jawabnya.

Rasa senang memenuhi hati kecilku. Sambil memakai sarung, saya melangkahkan kaki menuju asrama santri.

"Jika aku sudah punua celana panjang, saya akan rajin masuk kelas. Saya ingin sukses. Meskipun sudah ketinggalan beberapa hari", ungkapku dalam hati.

Karena hanya satu-satunya celana panjang yang saya miliki. Maka saya harus pandai mengaturnya, kapan dicuci, dan kapan saya harus pakai sarung.

Celana tersebut saya cuci di sore hari, setelah shalat ashar. Sampai pagi, sudah kering dan siap dipakai lagi. Sementara mulai sore sampai pagi, saya memakai sarung. Demikian rutinitas dan pengalaman mukim Ramadhan di Gontor.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar