"Saya
tidak boleh cengeng. Saya tidak boleh bersedih. Urusan celana panjang, harus
segera saya atasi. Jika tidak, saya akan tetap mengurung diri di kamar dan
ketinggalan pelajaran. Bisa tidak lulus saat ikut ujian masuk Pondok Gontor
pada bulan Syawal", demikian self
talk yang saya lakukan kepada diri saya, beberapa hari setelah mukim
Ramadhan di Gontor.
Dengan
bekal uang sangu pemberian ayah, saya membeli kain. Saya sudah lupa, berapa
harganya saat itu. Yang masih saya ingat, kain celana itu warna coklat.
"Bapak,
kalau menjahitkan celana yang paling cepat, berapa hari?", tanyaku kepada
tukang jahit di dekat Pondok.
"Paling
cepat empat hari. Normal satu minggu", jawab tukang jahit.
"Kalau
tiga hari bisa nggak Pak? Sebab saya tidak punya celana panjang. Saya sudah
izin dua hari tidak masuk kelas. Berarti jika harus menunggu empat hari, saya
ketinggalan kelas enam hari", jelasku.
"Saya
usahakan jadi tiga hari", jawabnya.
Rasa
senang memenuhi hati kecilku. Sambil memakai sarung, saya melangkahkan kaki
menuju asrama santri.
"Jika
aku sudah punua celana panjang, saya akan rajin masuk kelas. Saya ingin sukses.
Meskipun sudah ketinggalan beberapa hari", ungkapku dalam hati.
Karena
hanya satu-satunya celana panjang yang saya miliki. Maka saya harus pandai
mengaturnya, kapan dicuci, dan kapan saya harus pakai sarung.
Celana
tersebut saya cuci di sore hari, setelah shalat ashar. Sampai pagi, sudah
kering dan siap dipakai lagi. Sementara mulai sore sampai pagi, saya memakai
sarung. Demikian rutinitas dan pengalaman mukim Ramadhan di Gontor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar