Alkisah,
usai tamat SD, tahun 1982, meskipun sudah diterima di SMP, saya bertekad masuk
Gontor. Diantar ayah saya, dengan naik bus dari Sragen ke Madiun. Kemudian
nyambung bus jurusan Ponorogo. Di terminal Ponorogo sudah ada panitia
penerimaan murid baru yang mengurusi transportasi ke Gontor.
"Bapak
tidak bisa lama menungguimu nak karena ada pekerjaan di sekolah yang tidak bisa
ditinggalkan", ungkap ayah saya sambil memberikan uang jajan.
Uang makan
dan biaya muqim Ramadhan, tambahnya, selama satu bulan sudah bapak bayar.
Kuatkan niat dan bulatkan tekad untuk menuntut ilmu. Kamu di sini tidak
sendirian. Banyak teman dari berbagai daerah di Indonesia.
"Baik
Ayah. Doakan Ananda semoga bisa diterima menjadi santri Gontor", ucapku
seraya melepas kebergian ayah.
Sebagai
calon santri yang muqim (tinggal) pada bulan Ramadhan, saya harus mengikuti
semua kegiatan yang sudah dirancang Panitia Bulan Ramadhan. Ada tadarus
al-qur'an, shalat tarwih, dan yang penting lagi adalah mengikuti kelas
persiapan ujian masuk pondok.
Ada pelajaran Imla (dikte dalam bahasa Arab), membaca Qur'an, Fikih, praktik ibadah, dan berhitung.
Ada pelajaran Imla (dikte dalam bahasa Arab), membaca Qur'an, Fikih, praktik ibadah, dan berhitung.
Semua
santri diwajibkan memakai celana panjang saat mengikuti proses pembelajaran di
kelas. Tidak ada seragam khusus, yang penting memenuhi kriteria rapi dan sopan.
Jarum jam
tepat menunjukkan angka 7. Suara lonceng di samping Aula berbunyi tujuh kali.
Tanda kegiatan belajar di kelas akan segera dimulai.
Untuk
memastikan seluruh calon santri masuk kelas, Panitia Bulan Ramadhan keliling
asrama. Tibanya di asrama saya, yaitu Rayon Indonesia Tiga (Rita).
"Kenapa
tidak segera masuk kelas?", tanya panitia dari santri kelas lima ketika
melihat saya masih di kamar.
"Maaf
Kak, saya baru datang kemarin. Saya tidak tahu kalau di sini wajib pakai celana
panjang. Saya tidak punya celana panjang. Sementara orang tua saya sudah
pulang. Apa boleh saya pakai sarung ke kelas?", ujarku sambil menahan air
mata.
"Untuk
ke masjid harus pakai sarung, tetapi untuk masuk kelas tidak boleh pakai
sarung. Ini salah satu disiplin berpakaian di Gontor", jelas panitia
tersebut.
"Kalau
begitu, saya mohon izin, hari ini tidak masuk kelas", ucapku.
"Ya,
sementara ini boleh dan usahakan segera beli celana panjang", jawabnya.
"Alhamdulillah",
ucapku dalam hati.
Saat itu,
saya kembali mengecek pakain yang ada di dalam tas. Saya masih berharap ada
celana panjang yang disiapkan orang tua. Ternyata tidak ada. Yang ada hanya
satu kain sarung, dua potong kaos dan baju, serta beberapa potong pakaian
dalam.
Dalam
kondisi tidak ada saudara, sementara teman-teman lainnya aktif mengikuti
pelajaran di kelas, saya hanya bisa menangis seorang diri di dalam kamar.
"Ya
Rabb...awal perjalanan yang tak akan kulupakan. Awal kemandirian yang harus
kuhadapi. Awal kehidupan di pondok yang harus kujalani. Berilah pertolongan
kepada hambaMu ini".
Demikian
ungkapan doa yang kupanjatkan untuk menenangkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar