Sabtu, 18 Juni 2016

GONTORIANA-1 NANGIS, TIDAK PUNYA CELANA PANJANG




Alkisah, usai tamat SD, tahun 1982, meskipun sudah diterima di SMP, saya bertekad masuk Gontor. Diantar ayah saya, dengan naik bus dari Sragen ke Madiun. Kemudian nyambung bus jurusan Ponorogo. Di terminal Ponorogo sudah ada panitia penerimaan murid baru yang mengurusi transportasi ke Gontor.

"Bapak tidak bisa lama menungguimu nak karena ada pekerjaan di sekolah yang tidak bisa ditinggalkan", ungkap ayah saya sambil memberikan uang jajan.

Uang makan dan biaya muqim Ramadhan, tambahnya, selama satu bulan sudah bapak bayar. Kuatkan niat dan bulatkan tekad untuk menuntut ilmu. Kamu di sini tidak sendirian. Banyak teman dari berbagai daerah di Indonesia.
"Baik Ayah. Doakan Ananda semoga bisa diterima menjadi santri Gontor", ucapku seraya melepas kebergian ayah.

Sebagai calon santri yang muqim (tinggal) pada bulan Ramadhan, saya harus mengikuti semua kegiatan yang sudah dirancang Panitia Bulan Ramadhan. Ada tadarus al-qur'an, shalat tarwih, dan yang penting lagi adalah mengikuti kelas persiapan ujian masuk pondok.
Ada pelajaran Imla (dikte dalam bahasa Arab), membaca Qur'an, Fikih, praktik ibadah, dan berhitung.

Semua santri diwajibkan memakai celana panjang saat mengikuti proses pembelajaran di kelas. Tidak ada seragam khusus, yang penting memenuhi kriteria rapi dan sopan.

Jarum jam tepat menunjukkan angka 7. Suara lonceng di samping Aula berbunyi tujuh kali. Tanda kegiatan belajar di kelas akan segera dimulai.

Untuk memastikan seluruh calon santri masuk kelas, Panitia Bulan Ramadhan keliling asrama. Tibanya di asrama saya, yaitu Rayon Indonesia Tiga (Rita).

"Kenapa tidak segera masuk kelas?", tanya panitia dari santri kelas lima ketika melihat saya masih di kamar.

"Maaf Kak, saya baru datang kemarin. Saya tidak tahu kalau di sini wajib pakai celana panjang. Saya tidak punya celana panjang. Sementara orang tua saya sudah pulang. Apa boleh saya pakai sarung ke kelas?", ujarku sambil menahan air mata.

"Untuk ke masjid harus pakai sarung, tetapi untuk masuk kelas tidak boleh pakai sarung. Ini salah satu disiplin berpakaian di Gontor", jelas panitia tersebut.

"Kalau begitu, saya mohon izin, hari ini tidak masuk kelas", ucapku.
"Ya, sementara ini boleh dan usahakan segera beli celana panjang", jawabnya.

"Alhamdulillah", ucapku dalam hati.
Saat itu, saya kembali mengecek pakain yang ada di dalam tas. Saya masih berharap ada celana panjang yang disiapkan orang tua. Ternyata tidak ada. Yang ada hanya satu kain sarung, dua potong kaos dan baju, serta beberapa potong pakaian dalam.

Dalam kondisi tidak ada saudara, sementara teman-teman lainnya aktif mengikuti pelajaran di kelas, saya hanya bisa menangis seorang diri di dalam kamar.

"Ya Rabb...awal perjalanan yang tak akan kulupakan. Awal kemandirian yang harus kuhadapi. Awal kehidupan di pondok yang harus kujalani. Berilah pertolongan kepada hambaMu ini".

Demikian ungkapan doa yang kupanjatkan untuk menenangkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar