Rabu, 27 Februari 2013

Pengalaman Haji: MATA DIKABURKAN ALLAH



Banyak  pengalaman menarik yang penulis alami ketika menunaikan ibadah haji di tanah suci. Ada yang sifatnya teguran atau peringatan dan ada juga yang sifatnya kemudahan dari Allah.  

Mata Dikaburkan Allah

Ini cerita yang paling unik dalam catatan saya ketika tinggal di  asrama haji Pondok Gede.  Baru beberapa jam tinggal di asrama, sudah ada jamaah yang kehilangan uang living cost sebesar  1.500 riyal.

“Uang living cost saya hilang. Tidak tahu dimana hilangnya. Tadi saya mengganti tali tas paspor  dan uang saya taruh di dalam tas”, ungkap Pak Azhari salah satu jamaah haji rombongan 7 mengawali ceritanya.

“Coba dicari lagi pak”, saran ketua regu.
“Saya sudah cek di dompet, tas, dan tempat tidur, tapi hasilnya nihil”, jawab pak Azhari. 

Karena rasa tanggungjawab, ketua regu tersebut juga ikut mengecek. Tapi tidak menemukan juga alias hampa. Akhirnya berita kehilangan itu  dilaporkan ke bagian  keamanan asrama haji. Dengan cepat bagian keamanan menghubungi polisi dan langsung datang ke asrama. 

Prang pertama kali yang ditanya polisi adalah tukang tas yang mengganti tali tas paspor. Sebab kemungkinan terjadinya kehilangan itu saat mengganti tali tas paspor.

“Saya siap mati di tempat ini pak kalau saya mengambil uang dari tas saat mengganti tali tas”, ungkap tukang tas ketika ditanya oleh polisi apakah dia mengambil uang.

Mendengar kesaksian dan jawaban seperti itu, maka polisi tidak meneruskan penyidikan kepada  tukang tas. Pada saat itulah seorang jamaah minta Pak Azhari untuk tenang dan mengingat-ingat kembali kronologi kejadian dari awal masuk ke kamar sampai uang hilang sambil memberi saran. “Coba tengah malam nanti bangun dan shalat malam untuk berdoa kepada Allah”.

Rupanya saran tersebut diterima oleh Pak Azhari. Begitu bangun malam, sebelum shalat sunat, Pak Azhari mencoba membuka dompetnya kembali. Subhanallah dan Allahu Akbar. Ternyata uang 1.500 riyal itu masih utuh di dalam dompet. “Penglihatan saya dikaburkan oleh Allah rupanya”, ungkapnya seraya menambahkan sudah ada teman yang menawarkan  untuk menghubungi orang pintar.





Please Help Me   

Kejadian ini terjadi ketika melaksanakan umrah sunnah. Salah satu jamaah ada yang tunanetra, yaitu pak Bambang Widodo.  Biasanya dia didampingi oleh Pak Badriyansah, teman dekatnya. Namun kali ini pak Safaruli, anggota jamaah yang sudah cukup tua yang mendampinginya. Nah waktu tawaf, pak Bambang terpisah dari pak Safaruli. Entah bagaimana asal muasalnya tidak diketahui dengan jelas karena kondisi di  masjidil haram sangat penuh sesak dengan jamaah haji meskipun malam hari.

Pak Safaruli merasa bersalah karena temannya yang tunanetra terlepas darinya. Penulis sendiri sempat ketemu  pak Safaruli di tengah-tengah melakukan tawaf. “Saya terpisah dari pak Bambang. Tolong kalau ketemu dikawal ya”, pesan pak Safaruli kepada saya. 

Dalam keadaan terpisah dari teman pemandunya, pak Bambang hanya tawakkal kepada Allah. Tidak ada rasa khawatir atau takut sedikitpun kerena terlantar atau hilang. Saat itulah ia mendapat pertolongan Allah dengan mengucapkan, ““Please help me. Blind. Blind”.  Ia mengucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan harapan ada jamaah yang menolong.

Mendengar teriakan itu, akhirnya ada jamaah dari Turki yang membantu pak Bambang menyelesaikan tawaf dan sa’i.  Sementara saya dan kawan-kawan dari anggota rombongannya masih berusaha mencarinya. Karena tidak menemukan pak Bambang, saya dan teman-teman jamaah sepakat untuk pulang ke pemondokan dan melaporkan kejadian ini kepada petugas pembimbing haji dari Kementerian Agama.

Namun, alangkah terkejutnya saya dan teman-teman ketika sampai di pemondokan, ternyata Pak Bambang juga sudah tiba di pemondokan dengan selamat bersama jamaah dari Turki. Alhamdulillah. Nashrun minallah wa fathun qarib.


Mendapat Kemudahan Karena Tahu Bahasa Arab

Bagi jamaah yang bisa berbahasa Arab, selama musim haji, banyak mendapatkan kemudahan. Salah satu pengalaman adalah saat menawar barang  di toko seperti yang penulis alami.

Pagi itu penulis diminta mengantar ibu-ibu membeli peralatan dapur di toko dekat pemondokan di wilayah Bakutmah Mekkah.  Alasan mereka minta didampingi karena penulis bisa berbahasa Arab.

“Nanti kalau di toko tolong bapak yang nawar ya”, ungkap ibu Fitri  dalam perjalanan ke toko.
“Ya”, jawab penulis singkat.

Dengan kemampuan bahasa Arab yang penulis miliki, begitu melihat barang, penulis langsung cas cis cus dengan penjaga toko dengan memakai bahasa Arab.
Kam hadza (Berapa harganya ini)?”, tanya penulis kepada penjaga toko.
Hadza miah wa khamsuna riyal (Harganya seratus lima puluh riyal)”, jawab pemilik toko.
Wallahi ghali hadza (Harganya mahal ini)”, jawab penulis seraya menawar dengan harga 100 riyal.
Zid qalilan ya haj (tambah sedikit ya Haji)”, ungkap pemilik toko.
Akhir tsaman, miah wa ngasyara (Penawaran terakhir, seratus sepuluh riyal)”, ungkap penulis.
Thayyib. La ba’sa (Baik, tidak apa-apa)”, ungkap penjaga toko.

 Lumayan kan bisa dapat harga murah. Ternyata tidak sia-sia bahasa Arab yang penulis miliki. Alhamdulillah.
 
Majjanan   

Majjanan, fi sabilillah, halal….halal…. Demikian cara orang bersedekah atau menawarkan pemberian kepada jamaah haji di Mekkah.  Begitu mendengar “halal-halal”  para jamaah segera bergegas ke arah suara tersebut dan antri untuk mendapatkan jatah. Isi bingkisan bervariasi. Biasanya tiga jenis. Ada roti, sale, dan keju atau  buah, juice dan air mineral.  Ada juga nasi briyani dengan lauk ayam/daging.

Pelaku sedekah biasanya datang dengan mobil dan memarkir kendaraannya di pinggir jalan. Kemudian  membuka kaca mobil dan berteriak “halal, halal, halal…….fi sabilillah….” sambil memberikan bingkisan. Jika ada jamaah yang tidak mau antri dengan tertib alias berebut, orang yang bersedekah langsung menyalakan mobil dan  pindah ke tempat lain.

Dari tiga istilah  tersebut (halal, fi sabilillah dan majjanan), kata majjanan (gratis) kurang akrab di kalangan  jamaah Indonesia. Ceritanya, usai shalat Jumat  ada pembagian nasi briyani di dekat masjid Arrahman Jl. Khalil Ibrahim Mekkah.  Yang membagi sedekah adalah seorang koki keturunan Turki dalam keadaan masih lengkap dengan pakaian kebesaran kokinya. “Majjanan….. majjanan…..” ungkapnya seraya  menawarkan nasi. Saya sendiri langsung antri dan mendapat satu bungkus plastik berisi nasi. Cukup untuk makan tiga orang. Tetapi teman-teman jamaah yang satu rombongan dengan saya lewat begitu saja. Tidak menghiraukan pemberian makanan gratis.

Saya kurang tahu apakah teman-teman saya itu  tidak suka nasi briyani atau ada alasan lain.  Setelah sampai kamar saya baru tahu bahwa teman-teman jamaah yang tidak mengambil jatah nasi briyani karena tidak tahu kalau majjanan  itu artinya gratis.

“Saya kira orang jualan biasa maka saya tidak  antri karena tidak bawa uang”, ungkap seorang teman penulis  yang tidak tahu arti majjanan.  “Saya tidak tahu kalau ada pembagian nasi gratis. Dalam ingatan saya pemberian gratis itu hanya “halal dan fi sabilillah” ucapnya.

3 komentar:

  1. Terimakasih Ibu. Pengalaman haji ini sudah saya bukukan dan sudah terbit tahun 2013 ini. Judulnya adalah Haji dalam perspektif psikologi, sosial, budaya, dan religi.

    BalasHapus
  2. masyaAllah, tulisannya bagus. Coba di bagikan di ruharamain.net tempat kita bisa berberbagi ppengalaman seputar haji dan umrah serta tips dan hal lainnya :)

    BalasHapus
  3. Kami menawrakan paket umroh + Turki dengan harga terjangkau. mungkin bisa jadi referensi untuk menunaikan ibadah umroh bapak atau ibu selanjutnya. terimakasih

    BalasHapus