Sabtu, 24 November 2012

KONDISI BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH/MADRASAH Indonesia Kekurangan 92.572 Guru BK/Konselor



Secara yuridis dan kebijakan, posisi konselor sekolah/madrasah  memiliki legitimasi dan posisi yang kuat dan kokoh, namun pada tataran implementasi masih banyak masalah-masalah yang dihadapi.  Diantara masalah tersebut adalah terbatasnya konselor  sehingga terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan konselor di sekolah/madrasah. Akibatnya, rasio antara konselor dan murid terlalu tinggi.  Sementara itu konselor yang ada masih banyak yang mismatch atau tidak sesuai antara kualifikasi akademik dan profesinya. Dari segi manajemen dan pengelolaan, dukungan dari pihak sekolah kurang optimal, baik dari kepala sekolah/madrasah, guru, wali kelas, orang tua, dan staf. Kondisi seperti ini membuat pengakuan kepada profesi konselor masih relatif rendah.  Selain itu, masih terdapat mispersepsi  terhadap layanan konseling, dimana konselor dianggap sebagai polisi sekolah.

Demikian diantara  catatan penting dari acara Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Peningkatan Kualitas Layanan Bimbingan dan Konseling di Madrasah, yang diselenggarakan Fakultas Psikologi UIN Jakarta, 9-10 November 2012. Kegiatan yang diikuti oleh konselor madrasah Se-Jabodetabek, alumni dan mahasiswa Fakultas Psikoogi UIN Jakarta ini, merupakan rangkaian acara peringatan sepuluh tahun Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Sebagai nara sumber adalah Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd, Kons, Ketua Umum Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), Drs. Wahyudin, MP.d Kepala Bidang Mapenda Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Prof Dr. Syamsu Yusuf Ketua Program Studi Bimbingan danKonseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, dan  Prof Dr. Juntika Nurihsan, M.Pd. (UPI). Dari Fakultas Psikologi UIN Jakarta yang turut menjadi nara sumber atau fasilitator adalah Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si, dan Drs. Akhmad Baidun, M.Si.

Menurut Mungin Eddy Wibowo, untuk menjadi konselor sekolah/madrasah harus memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) Bimbingan dan Konseling dan pendidikan Profesi Konseling dengan empat kompetensi: pegagogik, profesional, sosial, danpersonal. “Ketentuan ini telah ditetapkan sebagai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008”, ungkap  anggota BSNP tersebut.

Namun demikian, tambah Mungin, banyak konselor di sekolah/madrasah yang belum memenuhi persyaratan tersebut.  Ada diantara konselor yang berasal dari pendidikan agama, psikologi, dan pendidikan bahasa. “Kondisi seperti ini yang membuat mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah/madrasah masih rendah”, ujarnya.

Mungin juga mengakui bahwa  keterbatasan lembaga pendidikan profesi konseling  saat ini masih terbatas. Kondisi ini juga menjadi salah satu penyebab mengapa rasio konselor dan murid masih tinggi dan  tingkat mismacth juga masih tinggi. Saat ini baru ada dua lembaga yang menyelenggarakan pendidikan profesi konseling, yaitu Universitas Negeri Padang (UNP) dan Universitas Negeri Semarang (UNNES). 

Sementara itu, di Indonesia jumlah konselor di sekolah adalah 33.000 orang dengan jumlah sekolah, mulai dari SMP/MTs sampai SMA/MA dan SMK sebanyak 80.170 sekolah dengan jumlah murid 18.835.859 anak. Jika dihitung berdasarkan rasio   1 : 150 berarti  Indonesia membutuhkan Guru BK atau Konselor sebanyak  125.572 orang. Artinya saat ini masih dibutuhkan  atau kekurangan  konselor sebanyak 92.572 orang.

Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Mungin, kondisi guru BK/Konselor yang ada sekarang harus segera ditingkatkan, baik dari segi kualifikasi akademik maupun kompetensinya, agar konselor menjadi bermartabat. “Untuk menyelesaikan masalah ini tidak hanya menjadi tanggungjawab ABKIN, tetapi menjadi tanggungjawab  semua pihak”,  ucap mantan Pembantu Rektor Bidang Akademik  UNNES periode 2003-2007 itu.

Satu hal yang perlu dicatat dan disyukuri adalah  kondisi murid-murid madrasah yang masih terkontrol. Selama ini tidak ada tawuran yang terjadi antar madrasah.  Namun demikian, bukan berarti tugas dan tanggungjawab konselor madrasah telah selesai.Mereka masih memiliki banyak PR atau pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.  PR ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh konselor, tetapi juga memerlukan kerjasama dan dukungan dari semua pihak, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan Tinggi, sampai masyarakat. Dengan demikian, konselor dalam menjalankan tugasnya di sekolah mantap, di luar sekolah sigap, dan di mana-mana siap. (BangS).

 

1 komentar: