Senin, 27 Februari 2012

MENULIS ITU MUDAH

Menulis itu mudah. Menulis itu tidak perlu skill khusus. Setiap orang bisa menulis. Ayo menulis mulai sekarang. Tunggu apa lagi. Jangan ditunda-tunda. Tulis apa yang ada di pikiran Anda. Tentang apa saja. Tentang pengalaman mengajar. Tentang pengalaman perjalanan. Tentang keluarga. Tentang hasil penelitian dan sebagainya. Jangan takut salah. Jangan takut ditolak oleh redaktur jurnal atau media massa. Jika ditolak pun, jangan sampai putus asa. Masih ada peluang lain. Tulis, tulis, dan tulis lagi sampai tulisan Anda diterbitkan.

Demikian catatan penting dan inspiratif yang penulis dapat setelah mengikuti Writing Skills Training selama dua hari di Fakultas Psikologi (23-24 Februari 2012). Kegiatan ini merupakan rentetan dari kegiatan peringatan 10 tahun Fakultas Psikologi (2002-2012). Sebagi nara sumber adalah Komaruddin Hidayat Rektor UIN, Nur Kholis Setiawan dosen UIN Jogjakarta, Corina Deborah Silalahi dosen Fakultas Psikologi UI, M. Zuhdi Kepala Pusat Bahasa UIN Jakarta, Abdul Mujib dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta, dan Asrori S. Karni Redaktur Majalah Gatra. Acara ini diikuti hampir seluruh dosen fakultas psikologi.

Komaruddin, dalam paparannya, menegaskan tradisi tulis menulis memiliki akar yang kuat dalam tradisi keilmuan Islam. “Diantara agama-agama yang ada di dunia, hanya Islam yang memiliki textual culture and originality of scriptual. Para ulama-ulama Islam terdahulu sangat produktif. Karya-karya mereka masih kita jadikan referensi sampai saat ini”, ungkap Rektor yang sejak mahasiswa sudah aktif menulis.
Menulis, lanjut Komar –panggilan akrabnya sehari-hari--, tidak bisa dilepaskan dari mempelajari budaya suatu bangsa. Menulis tanpa dilandasi pengetahuan tentang budaya bisa berbahaya. Oleh karena itu, para diplomat, sebelum ditugaskan ke negara tempat kerjanya, dibekali materi tentang budaya supaya mudah beradaptasi dengan nilai-nilai dan kultur di tempat yang dituju. “Ketika saya berbicara dengan bahasa Jawa dengan rekan saya, seketika itu juga saya menunjukkan perilaku dan sopan santun sesuai dengan kultur Jawa”, ungkap penulis buku best seller Psikologi Kematian tersebut seraya menambahkan dengan menggunakan bahasa (Jawa) kita mengetahui posisi dan status diri kita.

Untuk menghasilkan tulisan yang bagus, menurut Komar, tidak diperlukan skill atau keterampilan khusus. “Menulis itu ibarat belajar naik sepeda. Pada awalnya sulit dan bahkan sering jatuh, tapi ketika sudah mahir, bisa naik dengan berbagai gaya dan ada kenikmatan tersendiri”, ungkap alumni Pesantren Pabelan itu. Ketika di Pabelan, lanjutnya, Kyai Hamam Dja’far (almarhum) selalu meminta santri-santrinya untuk menulis setiap hari. “Tulis apa yang kamu anggap penting dalam buku harianmu”, ungkap Komar menirukan pesan kyainya saat itu. Tulisan itu biasanya diserahkan kepada kyai pada sore hari dan pagi harinya dikembalikan kepala santri setelah pak kyai membubuhkan tanda tangan. “Saya merasa senang, tulisan saya dibaca pak kyai dan diberi apresiasi dalam bentuk tanda tangan”, ungkap Komaruddin yang telah menghasilkan lebih dari 20 buku.

Oleh karena itu, pesan Komar, dalam menulis, jangan sampai terperangkap dengan tata bahasa (grammar) yang membuat penulis menjadi tertekan (stress) dan kelelahan. “Tulis apa yang Anda rasakan dan pikirkan saat itu. Bisa tentang isu yang sedang menghangat, atau pro kontra terhadap suatu masalah, bisa juga tentang gagasan-gagasan baru dari penulis yang perlu disebarluarkan kepada orang lain”, ungkapnya.
Komaruddin juga memberikan kritik kepada ummat Islam, termasuk para dosen, supaya tidak tenggelam dalam tradisi komunikasi lisan saja. Ummat Islam, menurut Komar, khususnya pada da’i, memiliki kemampuan retorika yang tinggi, tetapi mereka kurang mempu mengungkapkan ide, gagasan, dan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Padahal, jika dakwah dilakukan secara lisan dan tulisan, penyebaran Islam akan lebih signifikan.

Ungkapan Komaruddin tersebut juga relevan dengan mereka yang berprofesi sebagai dosen. Dosen tidak boleh tenggelam dalam keasyikan mengajar di kelas dengan kemampuan retorikanya, tetapi juga harus melakukan penelitian dan menulis hasil penelitian di jurnal ilmiah atau di media massa. Karena jika tidak ada karya tulis yang dihasilkan selama masih hidup, apa yang akan diwariskan kepada anak cucu dan generasi muda kita? Warisan harta akan cepat habis bahkan malah menjadi pemicu pertengkaran atau percecokan. Warisan dalam bentuk tulisan karya ilmiah akan menjadi amal jariyah yang pahalanya tetap mengalir meskipun penulisnya telah meninggal.
Jadi, jika menulis itu mudah, menunggu apa lagi untuk tidak menulis? Alasan apa lagi untuk tidak berkarya? Jangan biarkan usia berlalu tanpa ada karya tulis yang dihasilkan. Yakin Anda bisa menulis. Maka mulailah menulis dari sekarang. Karena menulis itu mudah. (BangS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar