Saya bangga dan ada kepuasan akademik tersendiri ketika tulisan saya dimuat di jurnal internasional dan termasuk atikel yang paling banyak diunduh dari sagepub.com tahun 2009/2010. Demikian pernyataan Corina D. S. Riantoputra ketika menjadi nara sumber Writing Skills Training di Fakultas Psikologi UIN Jakarta (23/2/2012). Sedangkan Abdul Mujib, nara sumber pada hari kedua (24/2/2012) mengatakan, selama satu tahun, pernah menerima royalti dua puluh delapan juta rupiah dari satu buku karyanya.
Apa yang diungkapkan Corina dan Abdul Mujib tersebut merupakan bukti nyata bahwa menulis itu menguntungkan, baik secara materi maupun non materi/psikologis. Bagaimana tidak menguntungkan, sekian banyak orang mengutip dan menjadikan tulisan kita sebagai referensi dalam karya-karya mereka. Bagaimana tidak menguntungkan, hasil kerja satu atau dua tahun, bisa dinikmati bertahun-tahun. Masih segar dalam ingatan kita tentang penulis novel fiksi J.K. Rawling yang mendadak menjadi kaya raya dari buku Harry Potter yang ditulisnya. Karya yang monumental tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Untuk membelinya saja, orang siap antri berjam-jam di toko buku Gramedia. Ya, itulah keuntungan dari menulis. Jadi menulis itu rewarding.
Keuntungan lain dari tulisan adalah populeritas. Banyak orang dikenal melalui tulisan atau karyanya. Bermula dari tulisannya itu, seorang penulis biasanya sering diminta untuk menjadi nara sumber di berbagai kegiatan ilmiah. Seperti Ahmad Fuadi, penulis novel Negeri Lima Menara, sibuk memenuhi undangan untuk menjadi nara sumber karena bukunya terjual laris di lapangan. Bahkan novel yang diangkat dari kisah nyata ketika nyantri di Gontor tersebut telah dijadikan film layar lebar. Semakin mendatangkan keuntungan lagi, bukan?
Meskipun menulis itu menguntungkan, ternyata tidak semua orang terpanggil untuk menulis. Bukan tidak bisa atau tidak mampu. Tapi hanya karena malas. Sekali lagi malas dan malas. Ada juga yang memberikan alasan klasik, tidak ada waktu. Padahal setiap orang memiliki waktu yang sama, yaitu 24 jam sehari atau 7 hari seminggu. Jadi malas atau tidak ada waktu itu hanya sikap apologetik.
Bisa jadi sikap apologetik itu merupakan personal trait seseorang sehingga dia tidak suka menulis atau kalau menulis tidak pernah tuntas. Dalam kenyataannya, ada orang yang menulis tapi berhenti ketika baru sampai judulnya saja. Ada juga yang hanya sampai daftar isi. Tidak pernah tuntas. Tetapi ada juga yang selesai, dicetak dan laku laris di pasaran. Mereka yang tidak tuntas itu, secara akademik bukan karena ‘bodoh’ atau kompetensinya rendah. Tetapi karena tidak punya motivasi, niat, dan tekat yang kuat serta regulasi diri yang bagus. Mudah pasrah dan mengalah. Dengan pengertian lain, tidak memiliki personal trait sebagai penulis atau writer.
Terkait dengan regulasi diri, Corina memiliki pengalaman tersendiri. Menyadari dirinya tipe orang yang kurang bisa duduk lama-lama di atas kursi, ia selalu mengikat dirinya dengan shall atau kain. “Saya kalau lagi duduk dan menulis, sering mengikat badan dengan kain ini (shall)”, ungkapnya seraya menambahkan lama-kelamaan disiplin diri muncul dan terbangun menjadi baik. Sehingga setiap hari selalu ada kemajuan yang dicapai. Supaya ide dan pikiran dapat diekspresikan dengan tuntas, Corina tak segan-segan menempelkan kertas yang berisi sistematika ide tersebut di pojok kanan atas dari layar monitornya. Dengan cara seperti ini, ide kita bisa diorganisasikan dengan sistematis dan teratur. Tidak lompat dari satu ide ke ide yang lain.
Mujib memiliki pengalaman lain. Sebelum mulai menulis buku, selalu puasa minimal dua hari. Setiap menulis, selalu dalam keadaan suci (berwudhu). “Puasa dan wudhu ini dapat menumbuhkan semangat dan dorongan untuk menulis”, ungkap Mujib.
Keuntungan dari karya tulis itu memang tidak bersifat instant. Berbeda dengan menjadi nara sumber dalam talk show, dialog, atau seminar. Selesai kegiatan, nara sumber langsung menerima honor. Keuntungan (materi) dari menulis memerlukan waktu untuk bisa dirasakan. Meminjam istilah Abuddin Nata, salah satu penulis produktif di UIN Jakarta, keuntungan dari menulis itu ibarat menanam pohon durian. “Pohon durian itu mulai berbuah setelah lima sampai enam tahun ditanam. Perlu proses dan waktu”, ungkap Abuddin suatu ketika kepada penulis. Namun, tambahnya, sekali berbuah, kita akan meraup keuntungan yang banyak dari pohon durian tersebut. Demikian halnya menulis. Saat pertama menulis, tidak diterima oleh editor surat kabar. Tetapi sekali diterima, akan dicari terus oleh media untuk memberikan kontribusi tulisan.
Jika menulis itu menguntungkan secara materi dan non-materi/psikologis, mari kita berinvestasi melalui karya tulisa. Jangan sampai ajal tiba, kita belum punya karya tulis. Karena kita akan rugi jika kondisi seperti ini terjadi. Rugi dalam arti tidak bisa mewariskan ilmu dan keahlian yang kita miliki kepada generasi penerus kita. Bangkitlah. Mulai menulislah. Selagi belum terlambat. Ingat menulis itu menguntungkan. (BangS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar