Selasa, 28 Februari 2012
FAMILY COUNSELING: Menggapai Rumah Tangga Bahagia
Sebuah buku yang kaya dengan pengalaman batin. Dengan pembahasan sederhana. Bahasanya mudah dicerna, namun kaya dengan makna. Panduan bagaimana menuju sebuah keluarga yang bahagia. Ada terminologi Jawa yang kuno tapi masih relevan untuk kita renungkan. Konon orang bisa dianggap bahagia jika sudah mampu mewujudkan tedo, wismo, rejo brono, turonggo, dan kukilo. Apa makna semua itu? Apa saja konflik yang kerap menghinggapi keluarga muda? Apa saja kewajiban ayah dan ibu dalam rumah tangga? Lalu, bagaimana cara menggapai kebahagiaan dan kesuksesan? Dilengkapi dengan kisah-kisah yang sayang jika kita lewatkan, buku ini dilengkapi pula dengandoa-doa untuk keluarga.
Penulis: Bambang Suryadi, Ph.D
Penerbit: Mitsaq Pustaka Jogjakarta
Tebal: 181 halaman
Terbitan pertama: Februari 2012
Kata Pengantar: Komaruddin Hidayat Rektor UIN Jakarta
"Mari berandai-andai sejenak. Andaikan planet bumi yang demikian besar dan indah hanya ditempati oleh sepasang Adam dan Hawa saja, betapa sepi dan sia-sia fasilitas hidup yang telah tersedia ini. Jangankan menempati planet bumi atau sebuah kota besar, tinggal hanya berdua di rumah yang besar saja akan terasa sepi", tulis Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar buku ini.
Berminat? Hubungi penulis di email: bangs1970@yahoo.com atau lewat handphone: 0815-55665733
Senin, 27 Februari 2012
Call for Papers
Assalamu’alaikumwr. Wb.
We are pleased to inform you that in conjunction with its 10th anniversary, the Faculty of Psychology Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN) Jakarta Indonesia with the collaboration of Indonesian Educational Evaluation Association (Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia—HEPI) will be organizing the International Conference on Achieving Excellence in Quantitative Psychology for Better Future Education on 21-22 September 2012 at Syahida Inn, UIN Campus II.
We are inviting you to contribute generously by sending abstract to the conference. You may send your paper in English, Malay or Indonesian language. Selected quality papers will be published in Indonesian Journal of Psychological and Educational Measurement (Jurnal Pengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia-JP3I).
Please take note of the following important dates.
1. Submission of abstracts: May 25, 2012
2. Notification on acceptance of abstract : June 1, 2012
3. Final date for full paper submission: July 31, 2012
Kindly visit our website for further details: http://www.fpsi-uinjkt.ac.id/main/anniversary/ and together with this email, I attached you the soft copy of our conference brochure, faculty profile, and HEPI profile.
Thank you very much for you kind attention and cooperation.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yours sincerely
BAMBANG SURYADI, Ph.D
Deputy Dean For Administrative Affairs
Conference Chairman
Please forward this message to others.
KIAT MENULIS DI JURNAL ILMIAH
Menulis di jurnal perlu kiat, strategi, dan teknis penulisan tersendiri. Banyak hasil penelitian yang berkualitas tetapi tidak diterima untuk diterbitkan karena strategi dan teknis penulisannya kurang tepat. Sebaliknya, banyak penelitian yang sederhana—maaf sederhana bukan berarti tidak bermutu--, namun dikemas dengan indah dan menarik, sehingga menjadi tulisan yang bermutu dan dipublikasikan di jurnal bertaraf internasional. Dengan demikian jelas bahwa strategi itu lebih penting dari materi. Meminjam istilah Nurcholis Madjid, al-tariqah ahammu min al-madah. Cara atau strategi itu lebih penting dari materi.
Menurut Corina dan Zuhdi, kiat penulisan di jurnal ilmiah itu lebih ditekankan kepada pengorganisasian ide dan sistematika penulisan. Ketika mengorganisasikan ide, menurut Corina, ada perbedaan antara orang Barat dan orang Asia, termasuk Indonesia. Orang Barat cenderung straight forward atau langsung kepada tujuan. Sebaliknya orang Asia cenderung berputar-putar atau ngalor ngidul. “Coba Anda cermati kembali pendahuluan pada skripsi atau tesis mahasiswa kita, berapa halaman mereka menulis untuk mengantarkan pembaca kepada rumusan masalah”, ungkap Corina memberikan contoh pola pikir mahasiswa yang cenderung tidak to the point.
Sejenak mari kita cermati pengalaman Corina berikut ini.
“Mana rasional dan alasan diperlukannya penelitian ini?”, tanya Corina sebagai pembimbing kepada mahasiswa yang datang dengan sepuluh halaman untuk pendahuluan tesisnya.
“ Ada ibu, di paragraf terakhir halaman tujuh”, jawab mahasiswanya dengan singkat.
“Kalau begitu, mulai dari halaman pertama sampai halaman keenam dibuang”, perintah Corina dengan tegas.
“Ibu tidak menghargai usaha dan tulisan saya!”, ungkap mahasiswa dengan nada protes.
“Saya menghargai usaha dan tulisan Anda bukan dari jumlah halaman, tetapi dari pengorganisasian ide di dalam tulisan Anda”, jelas Corina sambil memberikan argumen.
Senada dengan Corina, M. Zuhdi Kepala Pusat Bahasa UIN Jakarta, memberikan contoh lain. Ada penulis menganalisis nilai-nilai Pancasila yang mulai runtuh di generasi muda bangsa Indonesia. Dalam pendahuluannya, ungkap Zuhdi, penulis tersebut bercerita mulai dari bagaimana Pancasila itu lahir dan dikembangkan sampai menjadi sebuah ideologi. Ini pemborosan energi, pikiran, dan materi sebab penulis menghabiskan beberapa halaman (lembar kertas) hanya untuk membicarakan sejarah pancasila. Mestinya penulis berasumsi pembaca sudah mengetahui sejarah Pancasila. Bagi mereka yang belum mengetahui, ya, dituntut untuk menelusurinya sendiri.
Kisah dan contoh sederhana yang dikemukakan Corina dan Zuhdi di atas, masih sering kita (dosen Fakultas Psikologi) temukan dalam skripsi mahasiswa. Penulis tidak akan memberikan data dan bukti empiris dalam tulisan yang singkat ini. Tetapi, coba Anda ambil salah satu skripsi mahasiswa bimbingan Anda. Baca kembali bagian pendahuluan dengan teliti. Cermati paragraf demi paragaf. Telaah, kalimat demi kalimat. Kritisi ide demi ide. Analisa hubungan antara ide di satu paragraf dengan ide di paragraf berikutnya. Kemudian tuliskan temuan Anda dalam secarik kertas.
Dapat diprediksikan bahwa sebagian besar dosen pembimbing akan menulis begini: Ya, benar. Ternyata banyak ide yang kocar-kacir. Tidak teroganisir dengan baik. Kok bisa begini sih. Dengan ada perasaan guilty feeling dalam diri sendiri. Sebab merasa kurang teliti saat membimbing. Maaf, penulis tidak berpretensi menuduh atau menyalahkan orang lain. Tetapi penulis juga memiliki perasaan yang sama.
Apa solusi dari permasalahan di atas? Dari penelusuran literatur penelitian, sebagaimana diungkapkan oleh Corina, karakteristik rumusan masalah yang baik itu adalah clear, spesific, and straight forward. Ada lagi yang menambahkan dengan measurable. Empat kriteria ini lah yang perlu kita jadikan dasar ketika mencermati tulisan mahasiswa bimbingan kita, yaitu jeals, spesifik, langsung ke masalah utama, dan terukur.
Jika empat kriteria di atas kita jadikan dasar dalam membuat pendahuluan sebuah penelitian atau tulisan ilmiah, maka bagian pendahulun itu cukup ditulis dengan hanya empat sampai lima paragraf. Dengan catatan, ide-ide yang ada dikemas dan diorganisasikan sedemikain rupa sehingga menjadi convincing bagi pembaca.
Apa yang penulis sampaikan di atas merupakan contoh kecil pengorganisasian ide dalam sebuah pendahuuan. Ide-ide tersebut juga masih relevan untuk bagian lain dari tulisan ilmiah. Nah, apa kiat atau tips menulis supaya tulisan kita bermutu? Dari pemaparan para nara sumber, Komaruddin Hidayat, Nur Kholis Setiawan, Corina Deborah Silalahi, M. Zuhdi, Abdul Mujib, dan Asrori S. Karni, penulis dapat merangkum 15 tips menulis di jurnal ilmiah.
1. Akrabkan diri Anda dengan Guideline for Authors (GFA) atau Introduction to Authors (ITA).
2. Baca tiga atau empat artikel dari jurnal yang akan Anda kirimi artikel.
3. Lakukan brainstorming melalui bacaan dan diskusi informal bersama rekan sejawat untuk mendapatkan ide atau isu yang akan ditulis.
4. Sesuaikan cara menulis dengan panduan yang diberikan masing-masing jurnal.
5. Hal-hal yang bersifat teknis harus sudah selesai (settle) sejak awal dari proses penulisan.
6. Tulis apa yang anda kuasai terlebih dahulu. Bisa dari hasil, metode, atau tujuan.
7. Tuliskan ide dengan singkat dan padat.
8. Baca ulang apa yang sudah Anda tulis. Jangan berpikir untuk menghasilkan tulisan yang indah dan bagus, dapat dilakukan dengan sekali duduk di depan laptop Anda.
9. Tulis dengan perasaan bukan dengan pikiran. Supaya Anda tidak terbelenggu dengan kaidah gramatika bahasa.
10. Ikuti konferensi akademik yang diselenggarakan oleh organisasi profesi keilmuan.
11. Luangkan waktu, meskipun sedikit, setiap hari untuk menulis.
12. Buat judul yang menarik minat pembaca
13. Hindari membonsai atau copy paste hasil penelitian dalam penulisan untuk jurnal.
14. Kenali waktu-waktu efektif Anda untuk menulis. Waktu pagi hari, sore hari, atau tengah malam.
15. Tulis artikel Anda bersama orang yang terkenal.
16. Mulai menulis dari sekarang.
17. Jangan menunda-nunda niat menulis.
Selamat mencoba. Semoga sukses.
(BangS)
MENULIS ITU MENGUNTUNGKAN
Saya bangga dan ada kepuasan akademik tersendiri ketika tulisan saya dimuat di jurnal internasional dan termasuk atikel yang paling banyak diunduh dari sagepub.com tahun 2009/2010. Demikian pernyataan Corina D. S. Riantoputra ketika menjadi nara sumber Writing Skills Training di Fakultas Psikologi UIN Jakarta (23/2/2012). Sedangkan Abdul Mujib, nara sumber pada hari kedua (24/2/2012) mengatakan, selama satu tahun, pernah menerima royalti dua puluh delapan juta rupiah dari satu buku karyanya.
Apa yang diungkapkan Corina dan Abdul Mujib tersebut merupakan bukti nyata bahwa menulis itu menguntungkan, baik secara materi maupun non materi/psikologis. Bagaimana tidak menguntungkan, sekian banyak orang mengutip dan menjadikan tulisan kita sebagai referensi dalam karya-karya mereka. Bagaimana tidak menguntungkan, hasil kerja satu atau dua tahun, bisa dinikmati bertahun-tahun. Masih segar dalam ingatan kita tentang penulis novel fiksi J.K. Rawling yang mendadak menjadi kaya raya dari buku Harry Potter yang ditulisnya. Karya yang monumental tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Untuk membelinya saja, orang siap antri berjam-jam di toko buku Gramedia. Ya, itulah keuntungan dari menulis. Jadi menulis itu rewarding.
Keuntungan lain dari tulisan adalah populeritas. Banyak orang dikenal melalui tulisan atau karyanya. Bermula dari tulisannya itu, seorang penulis biasanya sering diminta untuk menjadi nara sumber di berbagai kegiatan ilmiah. Seperti Ahmad Fuadi, penulis novel Negeri Lima Menara, sibuk memenuhi undangan untuk menjadi nara sumber karena bukunya terjual laris di lapangan. Bahkan novel yang diangkat dari kisah nyata ketika nyantri di Gontor tersebut telah dijadikan film layar lebar. Semakin mendatangkan keuntungan lagi, bukan?
Meskipun menulis itu menguntungkan, ternyata tidak semua orang terpanggil untuk menulis. Bukan tidak bisa atau tidak mampu. Tapi hanya karena malas. Sekali lagi malas dan malas. Ada juga yang memberikan alasan klasik, tidak ada waktu. Padahal setiap orang memiliki waktu yang sama, yaitu 24 jam sehari atau 7 hari seminggu. Jadi malas atau tidak ada waktu itu hanya sikap apologetik.
Bisa jadi sikap apologetik itu merupakan personal trait seseorang sehingga dia tidak suka menulis atau kalau menulis tidak pernah tuntas. Dalam kenyataannya, ada orang yang menulis tapi berhenti ketika baru sampai judulnya saja. Ada juga yang hanya sampai daftar isi. Tidak pernah tuntas. Tetapi ada juga yang selesai, dicetak dan laku laris di pasaran. Mereka yang tidak tuntas itu, secara akademik bukan karena ‘bodoh’ atau kompetensinya rendah. Tetapi karena tidak punya motivasi, niat, dan tekat yang kuat serta regulasi diri yang bagus. Mudah pasrah dan mengalah. Dengan pengertian lain, tidak memiliki personal trait sebagai penulis atau writer.
Terkait dengan regulasi diri, Corina memiliki pengalaman tersendiri. Menyadari dirinya tipe orang yang kurang bisa duduk lama-lama di atas kursi, ia selalu mengikat dirinya dengan shall atau kain. “Saya kalau lagi duduk dan menulis, sering mengikat badan dengan kain ini (shall)”, ungkapnya seraya menambahkan lama-kelamaan disiplin diri muncul dan terbangun menjadi baik. Sehingga setiap hari selalu ada kemajuan yang dicapai. Supaya ide dan pikiran dapat diekspresikan dengan tuntas, Corina tak segan-segan menempelkan kertas yang berisi sistematika ide tersebut di pojok kanan atas dari layar monitornya. Dengan cara seperti ini, ide kita bisa diorganisasikan dengan sistematis dan teratur. Tidak lompat dari satu ide ke ide yang lain.
Mujib memiliki pengalaman lain. Sebelum mulai menulis buku, selalu puasa minimal dua hari. Setiap menulis, selalu dalam keadaan suci (berwudhu). “Puasa dan wudhu ini dapat menumbuhkan semangat dan dorongan untuk menulis”, ungkap Mujib.
Keuntungan dari karya tulis itu memang tidak bersifat instant. Berbeda dengan menjadi nara sumber dalam talk show, dialog, atau seminar. Selesai kegiatan, nara sumber langsung menerima honor. Keuntungan (materi) dari menulis memerlukan waktu untuk bisa dirasakan. Meminjam istilah Abuddin Nata, salah satu penulis produktif di UIN Jakarta, keuntungan dari menulis itu ibarat menanam pohon durian. “Pohon durian itu mulai berbuah setelah lima sampai enam tahun ditanam. Perlu proses dan waktu”, ungkap Abuddin suatu ketika kepada penulis. Namun, tambahnya, sekali berbuah, kita akan meraup keuntungan yang banyak dari pohon durian tersebut. Demikian halnya menulis. Saat pertama menulis, tidak diterima oleh editor surat kabar. Tetapi sekali diterima, akan dicari terus oleh media untuk memberikan kontribusi tulisan.
Jika menulis itu menguntungkan secara materi dan non-materi/psikologis, mari kita berinvestasi melalui karya tulisa. Jangan sampai ajal tiba, kita belum punya karya tulis. Karena kita akan rugi jika kondisi seperti ini terjadi. Rugi dalam arti tidak bisa mewariskan ilmu dan keahlian yang kita miliki kepada generasi penerus kita. Bangkitlah. Mulai menulislah. Selagi belum terlambat. Ingat menulis itu menguntungkan. (BangS)
MENULIS ITU MUDAH
Demikian catatan penting dan inspiratif yang penulis dapat setelah mengikuti Writing Skills Training selama dua hari di Fakultas Psikologi (23-24 Februari 2012). Kegiatan ini merupakan rentetan dari kegiatan peringatan 10 tahun Fakultas Psikologi (2002-2012). Sebagi nara sumber adalah Komaruddin Hidayat Rektor UIN, Nur Kholis Setiawan dosen UIN Jogjakarta, Corina Deborah Silalahi dosen Fakultas Psikologi UI, M. Zuhdi Kepala Pusat Bahasa UIN Jakarta, Abdul Mujib dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta, dan Asrori S. Karni Redaktur Majalah Gatra. Acara ini diikuti hampir seluruh dosen fakultas psikologi.
Komaruddin, dalam paparannya, menegaskan tradisi tulis menulis memiliki akar yang kuat dalam tradisi keilmuan Islam. “Diantara agama-agama yang ada di dunia, hanya Islam yang memiliki textual culture and originality of scriptual. Para ulama-ulama Islam terdahulu sangat produktif. Karya-karya mereka masih kita jadikan referensi sampai saat ini”, ungkap Rektor yang sejak mahasiswa sudah aktif menulis.
Menulis, lanjut Komar –panggilan akrabnya sehari-hari--, tidak bisa dilepaskan dari mempelajari budaya suatu bangsa. Menulis tanpa dilandasi pengetahuan tentang budaya bisa berbahaya. Oleh karena itu, para diplomat, sebelum ditugaskan ke negara tempat kerjanya, dibekali materi tentang budaya supaya mudah beradaptasi dengan nilai-nilai dan kultur di tempat yang dituju. “Ketika saya berbicara dengan bahasa Jawa dengan rekan saya, seketika itu juga saya menunjukkan perilaku dan sopan santun sesuai dengan kultur Jawa”, ungkap penulis buku best seller Psikologi Kematian tersebut seraya menambahkan dengan menggunakan bahasa (Jawa) kita mengetahui posisi dan status diri kita.
Untuk menghasilkan tulisan yang bagus, menurut Komar, tidak diperlukan skill atau keterampilan khusus. “Menulis itu ibarat belajar naik sepeda. Pada awalnya sulit dan bahkan sering jatuh, tapi ketika sudah mahir, bisa naik dengan berbagai gaya dan ada kenikmatan tersendiri”, ungkap alumni Pesantren Pabelan itu. Ketika di Pabelan, lanjutnya, Kyai Hamam Dja’far (almarhum) selalu meminta santri-santrinya untuk menulis setiap hari. “Tulis apa yang kamu anggap penting dalam buku harianmu”, ungkap Komar menirukan pesan kyainya saat itu. Tulisan itu biasanya diserahkan kepada kyai pada sore hari dan pagi harinya dikembalikan kepala santri setelah pak kyai membubuhkan tanda tangan. “Saya merasa senang, tulisan saya dibaca pak kyai dan diberi apresiasi dalam bentuk tanda tangan”, ungkap Komaruddin yang telah menghasilkan lebih dari 20 buku.
Oleh karena itu, pesan Komar, dalam menulis, jangan sampai terperangkap dengan tata bahasa (grammar) yang membuat penulis menjadi tertekan (stress) dan kelelahan. “Tulis apa yang Anda rasakan dan pikirkan saat itu. Bisa tentang isu yang sedang menghangat, atau pro kontra terhadap suatu masalah, bisa juga tentang gagasan-gagasan baru dari penulis yang perlu disebarluarkan kepada orang lain”, ungkapnya.
Komaruddin juga memberikan kritik kepada ummat Islam, termasuk para dosen, supaya tidak tenggelam dalam tradisi komunikasi lisan saja. Ummat Islam, menurut Komar, khususnya pada da’i, memiliki kemampuan retorika yang tinggi, tetapi mereka kurang mempu mengungkapkan ide, gagasan, dan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Padahal, jika dakwah dilakukan secara lisan dan tulisan, penyebaran Islam akan lebih signifikan.
Ungkapan Komaruddin tersebut juga relevan dengan mereka yang berprofesi sebagai dosen. Dosen tidak boleh tenggelam dalam keasyikan mengajar di kelas dengan kemampuan retorikanya, tetapi juga harus melakukan penelitian dan menulis hasil penelitian di jurnal ilmiah atau di media massa. Karena jika tidak ada karya tulis yang dihasilkan selama masih hidup, apa yang akan diwariskan kepada anak cucu dan generasi muda kita? Warisan harta akan cepat habis bahkan malah menjadi pemicu pertengkaran atau percecokan. Warisan dalam bentuk tulisan karya ilmiah akan menjadi amal jariyah yang pahalanya tetap mengalir meskipun penulisnya telah meninggal.
Jadi, jika menulis itu mudah, menunggu apa lagi untuk tidak menulis? Alasan apa lagi untuk tidak berkarya? Jangan biarkan usia berlalu tanpa ada karya tulis yang dihasilkan. Yakin Anda bisa menulis. Maka mulailah menulis dari sekarang. Karena menulis itu mudah. (BangS)