Secara yuridis
dan kebijakan, posisi konselor sekolah/madrasah memiliki legitimasi dan posisi yang kuat dan
kokoh, namun pada tataran implementasi masih banyak masalah-masalah yang
dihadapi. Diantara masalah tersebut
adalah terbatasnya konselor sehingga
terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan konselor di
sekolah/madrasah. Akibatnya, rasio antara konselor dan murid terlalu
tinggi. Sementara itu konselor yang ada
masih banyak yang mismatch atau tidak sesuai antara kualifikasi akademik dan
profesinya. Dari segi manajemen dan pengelolaan, dukungan dari pihak sekolah kurang
optimal, baik dari kepala sekolah/madrasah, guru, wali kelas, orang tua, dan
staf. Kondisi seperti ini membuat pengakuan kepada profesi konselor masih
relatif rendah. Selain itu, masih
terdapat mispersepsi terhadap layanan
konseling, dimana konselor dianggap sebagai polisi sekolah.
Demikian diantara catatan penting
dari acara Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Peningkatan Kualitas Layanan
Bimbingan dan Konseling di Madrasah, yang diselenggarakan Fakultas Psikologi
UIN Jakarta, 9-10 November 2012. Kegiatan yang diikuti oleh konselor madrasah
Se-Jabodetabek, alumni dan mahasiswa Fakultas Psikoogi UIN Jakarta ini, merupakan
rangkaian acara peringatan sepuluh tahun Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Sebagai
nara sumber adalah Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd, Kons, Ketua Umum
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), Drs. Wahyudin, MP.d Kepala
Bidang Mapenda Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Prof Dr. Syamsu Yusuf Ketua Program
Studi Bimbingan danKonseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia, dan Prof Dr. Juntika
Nurihsan, M.Pd. (UPI). Dari Fakultas Psikologi UIN Jakarta yang turut menjadi
nara sumber atau fasilitator adalah Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Dra. Zahrotun
Nihayah, M.Si, dan Drs. Akhmad Baidun, M.Si.
Menurut Mungin Eddy Wibowo, untuk menjadi konselor sekolah/madrasah harus
memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) Bimbingan dan Konseling dan
pendidikan Profesi Konseling dengan empat kompetensi: pegagogik, profesional,
sosial, danpersonal. “Ketentuan ini telah ditetapkan sebagai Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008”, ungkap anggota BSNP tersebut.
Namun demikian, tambah Mungin, banyak konselor di sekolah/madrasah yang
belum memenuhi persyaratan tersebut. Ada
diantara konselor yang berasal dari pendidikan agama, psikologi, dan pendidikan
bahasa. “Kondisi seperti ini yang membuat mutu layanan bimbingan dan konseling
di sekolah/madrasah masih rendah”, ujarnya.
Mungin juga mengakui bahwa
keterbatasan lembaga pendidikan profesi konseling saat ini masih terbatas. Kondisi ini juga
menjadi salah satu penyebab mengapa rasio konselor dan murid masih tinggi
dan tingkat mismacth juga masih tinggi. Saat ini baru ada dua lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan profesi konseling, yaitu Universitas Negeri Padang
(UNP) dan Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Sementara itu, di Indonesia jumlah konselor di sekolah adalah 33.000 orang
dengan jumlah sekolah, mulai dari SMP/MTs sampai SMA/MA dan SMK sebanyak 80.170
sekolah dengan jumlah murid 18.835.859 anak. Jika dihitung berdasarkan
rasio 1 : 150 berarti Indonesia membutuhkan Guru BK atau Konselor
sebanyak 125.572 orang. Artinya
saat ini masih dibutuhkan atau
kekurangan konselor sebanyak 92.572
orang.
Untuk mengatasi
masalah tersebut, menurut Mungin, kondisi guru BK/Konselor yang ada sekarang
harus segera ditingkatkan, baik dari segi kualifikasi akademik maupun
kompetensinya, agar konselor menjadi bermartabat. “Untuk menyelesaikan masalah
ini tidak hanya menjadi tanggungjawab ABKIN, tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak”,
ucap mantan Pembantu Rektor Bidang Akademik UNNES periode 2003-2007 itu.
Satu hal yang perlu dicatat dan disyukuri adalah kondisi murid-murid madrasah yang masih
terkontrol. Selama ini tidak ada tawuran yang terjadi antar madrasah. Namun demikian, bukan berarti tugas dan
tanggungjawab konselor madrasah telah selesai.Mereka masih memiliki banyak PR
atau pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. PR ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh
konselor, tetapi juga memerlukan kerjasama dan dukungan dari semua pihak, mulai
dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan Tinggi, sampai masyarakat.
Dengan demikian, konselor dalam menjalankan tugasnya di sekolah mantap, di luar
sekolah sigap, dan di mana-mana siap. (BangS).