Banyak pengalaman menarik yang penulis alami ketika
menunaikan ibadah haji di tanah suci. Ada yang sifatnya teguran atau peringatan
dan ada juga yang sifatnya kemudahan dari Allah.
Mata Dikaburkan Allah
Ini
cerita yang paling unik dalam catatan saya ketika tinggal di asrama haji Pondok Gede. Baru beberapa jam tinggal di asrama, sudah
ada jamaah yang kehilangan uang living
cost sebesar 1.500 riyal.
“Uang
living cost saya hilang. Tidak tahu dimana hilangnya. Tadi saya mengganti tali
tas paspor dan uang saya taruh di dalam
tas”, ungkap Pak Azhari salah satu jamaah haji rombongan 7 mengawali ceritanya.
“Coba dicari lagi pak”, saran ketua
regu.
“Saya sudah cek di dompet, tas, dan
tempat tidur, tapi hasilnya nihil”, jawab pak Azhari.
Karena rasa tanggungjawab, ketua
regu tersebut juga ikut mengecek. Tapi tidak menemukan juga alias hampa.
Akhirnya berita kehilangan itu
dilaporkan ke bagian keamanan
asrama haji. Dengan cepat bagian keamanan menghubungi polisi dan langsung datang
ke asrama.
Prang pertama kali yang ditanya polisi
adalah tukang tas yang mengganti tali tas paspor. Sebab kemungkinan terjadinya
kehilangan itu saat mengganti tali tas paspor.
“Saya siap mati di tempat ini pak
kalau saya mengambil uang dari tas saat mengganti tali tas”, ungkap tukang tas
ketika ditanya oleh polisi apakah dia mengambil uang.
Mendengar kesaksian dan jawaban
seperti itu, maka polisi tidak meneruskan penyidikan kepada tukang tas. Pada saat itulah seorang jamaah
minta Pak Azhari untuk tenang dan mengingat-ingat kembali kronologi kejadian
dari awal masuk ke kamar sampai uang hilang sambil memberi saran. “Coba tengah
malam nanti bangun dan shalat malam untuk berdoa kepada Allah”.
Rupanya saran tersebut diterima oleh Pak Azhari. Begitu bangun malam, sebelum
shalat sunat, Pak Azhari mencoba membuka dompetnya kembali. Subhanallah dan
Allahu Akbar. Ternyata uang 1.500 riyal itu masih utuh di dalam dompet.
“Penglihatan saya dikaburkan oleh Allah rupanya”, ungkapnya seraya menambahkan
sudah ada teman yang menawarkan untuk
menghubungi orang pintar.
Please Help Me
Kejadian
ini terjadi ketika melaksanakan umrah sunnah. Salah satu jamaah ada yang
tunanetra, yaitu pak Bambang Widodo.
Biasanya dia didampingi oleh Pak Badriyansah, teman dekatnya. Namun kali
ini pak Safaruli, anggota jamaah yang sudah cukup tua yang mendampinginya. Nah
waktu tawaf, pak Bambang terpisah dari pak Safaruli. Entah bagaimana asal
muasalnya tidak diketahui dengan jelas karena kondisi di masjidil haram sangat penuh sesak dengan
jamaah haji meskipun malam hari.
Pak Safaruli merasa bersalah karena
temannya yang tunanetra terlepas darinya. Penulis sendiri sempat ketemu pak Safaruli di tengah-tengah melakukan
tawaf. “Saya terpisah dari pak Bambang. Tolong kalau ketemu dikawal ya”, pesan
pak Safaruli kepada saya.
Dalam keadaan terpisah dari teman
pemandunya, pak Bambang hanya tawakkal kepada Allah. Tidak ada rasa khawatir
atau takut sedikitpun kerena terlantar atau hilang. Saat itulah ia mendapat
pertolongan Allah dengan mengucapkan, ““Please
help me. Blind. Blind”.
Ia mengucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan harapan ada jamaah yang
menolong.
Mendengar
teriakan itu, akhirnya ada jamaah dari Turki yang membantu pak Bambang
menyelesaikan tawaf dan sa’i. Sementara
saya dan kawan-kawan dari anggota rombongannya masih berusaha mencarinya. Karena
tidak menemukan pak Bambang, saya dan teman-teman jamaah sepakat untuk pulang
ke pemondokan dan melaporkan kejadian ini kepada petugas pembimbing haji dari
Kementerian Agama.
Namun, alangkah terkejutnya saya dan
teman-teman ketika sampai di pemondokan, ternyata Pak Bambang juga sudah tiba
di pemondokan dengan selamat bersama jamaah dari Turki. Alhamdulillah. Nashrun minallah wa fathun qarib.
Mendapat Kemudahan Karena Tahu Bahasa Arab
Bagi jamaah yang bisa berbahasa
Arab, selama musim haji, banyak mendapatkan kemudahan. Salah satu pengalaman adalah saat
menawar barang di toko seperti yang
penulis alami.
Pagi
itu penulis diminta mengantar ibu-ibu membeli peralatan dapur di toko dekat
pemondokan di wilayah Bakutmah Mekkah. Alasan
mereka minta didampingi karena penulis bisa berbahasa Arab.
“Nanti kalau di toko tolong bapak
yang nawar ya”, ungkap ibu Fitri dalam
perjalanan ke toko.
“Ya”, jawab penulis singkat.
Dengan kemampuan bahasa Arab yang
penulis miliki, begitu melihat barang, penulis langsung cas cis cus dengan penjaga toko dengan memakai bahasa Arab.
“Kam
hadza (Berapa harganya ini)?”, tanya penulis kepada penjaga toko.
“Hadza
miah wa khamsuna riyal (Harganya seratus lima puluh riyal)”, jawab pemilik
toko.
“Wallahi
ghali hadza (Harganya mahal ini)”, jawab penulis seraya menawar dengan
harga 100 riyal.
“Zid
qalilan ya haj (tambah sedikit ya Haji)”, ungkap pemilik toko.
“Akhir tsaman, miah wa ngasyara (Penawaran
terakhir, seratus sepuluh riyal)”, ungkap penulis.
“Thayyib.
La ba’sa (Baik, tidak apa-apa)”, ungkap penjaga toko.
Lumayan kan bisa dapat harga murah. Ternyata
tidak sia-sia bahasa Arab yang penulis miliki. Alhamdulillah.
Majjanan
Majjanan, fi sabilillah, halal….halal…. Demikian cara
orang bersedekah atau menawarkan pemberian kepada jamaah haji di Mekkah. Begitu mendengar “halal-halal” para jamaah segera bergegas ke arah suara
tersebut dan antri untuk mendapatkan jatah. Isi bingkisan bervariasi. Biasanya
tiga jenis. Ada roti, sale, dan keju atau
buah, juice dan air mineral. Ada
juga nasi briyani dengan lauk ayam/daging.
Pelaku sedekah biasanya datang
dengan mobil dan memarkir kendaraannya di pinggir jalan. Kemudian membuka kaca mobil dan berteriak “halal,
halal, halal…….fi sabilillah….” sambil memberikan bingkisan. Jika ada jamaah
yang tidak mau antri dengan tertib alias berebut, orang yang bersedekah
langsung menyalakan mobil dan pindah ke
tempat lain.
Dari tiga istilah tersebut (halal,
fi sabilillah dan majjanan), kata
majjanan (gratis) kurang akrab di
kalangan jamaah Indonesia. Ceritanya,
usai shalat Jumat ada pembagian nasi
briyani di dekat masjid Arrahman Jl. Khalil Ibrahim Mekkah. Yang membagi sedekah adalah seorang koki
keturunan Turki dalam keadaan masih lengkap dengan pakaian kebesaran kokinya. “Majjanan….. majjanan…..” ungkapnya
seraya menawarkan nasi. Saya sendiri
langsung antri dan mendapat satu bungkus plastik berisi nasi. Cukup untuk makan
tiga orang. Tetapi teman-teman jamaah yang satu rombongan dengan saya lewat
begitu saja. Tidak menghiraukan pemberian makanan gratis.
Saya kurang tahu apakah teman-teman
saya itu tidak suka nasi briyani atau
ada alasan lain. Setelah sampai kamar
saya baru tahu bahwa teman-teman jamaah yang tidak mengambil jatah nasi briyani
karena tidak tahu kalau majjanan itu
artinya gratis.
“Saya kira orang jualan biasa maka
saya tidak antri karena tidak bawa uang”,
ungkap seorang teman penulis yang tidak
tahu arti majjanan. “Saya tidak tahu
kalau ada pembagian nasi gratis. Dalam ingatan saya pemberian gratis itu hanya
“halal dan fi sabilillah” ucapnya.