Catatan penulis: Terimakasih saya sampaikan kepada para alumni Gontor yang sudah memberikan informasi, data, dan kesaksian melalui group Whatapps. Semoga Allah membalas kebaikan mereka. Bagi para alumni yang masih memiliki informasi, saya akan sangat berterima kasih, jika mau berbagi kepada saya dengan memberikan komentar di blog ini. Atau jika informasi yang saya tulis ini salah,mohon berkenan membenarkan.
Sekian dan selamat membaca.
Sekian dan selamat membaca.
Peristiwa
kebakaran gedung 17 Agustus Pondok Modern Gontor terjadi pada 1983. Meskipun
sudah 31 tahun yang lalu, peristiwa tersebut masih belum lepas dari ingatan
para alumni dan banyak sekali pelajaran yang diambil dari peristiwa tersebut. Bukan hanya bagi para pengurus OPPM dan
Koordinator yang menempati gedung
tersebut, tapi juga bagi para santri secara umum.
Bagi santri Pondok
Gontor era 1990-an sampai sekarang, mungkin tidak banyak tahu tentang peristiwa
itu. Apalagi kondisi gedungnya sekarang sudah berbeda sama sekali dibandingkan
kondisi gedung saat itu. Oleh sebab itu, sebelum menjelaskan peristiwa
kebakaran gedung dan keajaiban yang terjadi pada malam Jumat tersebut, penulis
akan mengulas sekilas tentang gedung 17 Agustus.
Gedung 17 Agustus
Gedung 17 Agustus
identik dengan Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) dan Koordinator Pramuka.
Begitu mendengar atau melihat gedung 17
Agustus, yang terdetik di benak para santri saat itu adalah jajaran pengurus harian
OPPM dan Koordinator Pramuka. Di gedung satu lantai dengan cat warna
hijau dan krem serta terdiri dari lima kamar ini, para pengurus OPPM dan Koordinator Pramuka
menjalankan roda organisasi sehari-hari. Pengurus OPPM dan Pengurus Koordinator masing-masing
menempati dua ruang. Satu ruang lagi, di bagian tengah, ditempati oleh Mabikori (Majelis Pembimbing
Koordinator) yang terdiri dari pada ustadz Pondok Modern Gontor.
Di antara pengurus OPPM tersebut ada yang disebut dengan Pengurus Harian,
yaitu Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Keamanan. Mereka menempati satu kamar.
Jumlahnya 11 orang, dengan rincian satu orang ketua dan satu orang wakil ketua,
dua orang sekretaris, dua orang bendahara, dan lima orang bagian keamanan. Mengingat peran dan fungsi mereka yang sangat
krusial, maka mereka ditempatkan di satu kamar. Di Gedung 17 Agustus itu juga
bertempat para pengurus OPPM lainnya, yaitu Bagian Pengajaran, diantaranya
adalah Rahmat Abu Seman (Malaysia) dan Syamsul Hadi Muslim (Jember), pengurus Bagian
Kesenian, pengurus Bagian Penerangan, dan pengurus Bagian Olah Raga.
Kondisi gedung 17 Agustus saat itu padat penghuni. Karena banyak
pengurus Bagian OPPM yang menempati gedung 17 Agustus, maka suasana terasa
pengap dan penghuninya suka nongkrong di gedung Irak atau Wisma Hadi, tempat penerimaan tamu yang
berjarak sekitar sepuluh meter.
Pengurus OPPM lainnya, ditempatkan di tempat yang berbeda-beda.Tidak di
gedung 17 Agustus. Diantaranya adalah pengurus Bagian Koperasi Dapur (KOPDA), Bagian
Koperasi Pelajar (KOPEL), Bagian Kantian, Bagian Penerimaan Tamu, Bagian
Kesehatan, Bagian Perpustakaan, Bagian Keterampilan, Bagian Penatu.
Di luar kepengurusan OPPM dan Koordinator, ada satu bagian yang sangat
krusial, yaitu Bagian Disel. Tugasnya
mengurusi mesin disel air dan disel listrik. Jadi lancarnya air dan penerangan pondok sangat
bergantung kepada pengurus Bagian Disel.
Peran pengurus OPPM dan Bagian Disel itu seperti peran Kementerian atau
Lembaga di pemerintahan negara kita. Bagian Disel itu ibarat PLN dan
Dinas Perairan. Bagian Kesehatan, ibarat Kementerian Kesehatan. Demikian
bagian-bagian lainnya. Semua itu adalah sebuah miniatur kepemimpinan yang
memiliki jiwa negarawan.
Saat itu gedung-gedung di Pondok Modern
Gontor belum ada yang tingkat kecuali
gedung Saudi bertingkat tiga dan
Rayon Indonesia Empat (RIEM) bertingkat dua. Namun, seiring dengan kemajuan dan
tuntutan zaman, di Pondok Gontor sekarang, sulit menemukan gedung yang tidak
bertingkat, termasuk gedung 17 Agustus. Gedung
Rayon Indonesia Dua (RAINDUS) yang terletak di depan gedung 17 Agustus atau
Rayon Indonesia Tiga (RITA) yang terletak di sebelah kiri, kini sudah berubah
menjadi dua lantai. Sementara Gedung
Darul Kutub, sekarang sudah berubah nama menjadi gedung Shantiniketan. Meskipun sudah dibangun dengan dua lantai, nama gedung 17 Agustus tetap dipertahankan. Tidak berubah sebagaimana
gedung Darul Kutub.
Impian Para Santri
Bagi sebagian santri, menempati gedung 17
Agustus merupakan sebuah impian tersendiri. Tidak sembarang santri bisa
menempati gedung tersebut. Karena itu santri yang menghuni gedung 17 Agustus
memiliki “nilai plus” (keterampilan khusus).
“Pengurus
OPPM yang menempati gedung 17 Agustus itu santri pilihan. Tidak sembarang
santri. Seleksinya ketat sebab ada kriteria dan indikator khusus untuk bisa
menempati gedung yang menjadi pusat organisasi santri tersebut”, ungkap salah
satu santri kakak kelas penulis suatu hari.
Tanggungjawab pengurus OPPM, tambah santri
senior yang pernah menjadi penghuni gedung 17 Agustus tersebut, sangat berat. Mereka
menjadi motor penggerak aktivitas santri dari waktu ke waktu. Ibarat sebuah
kendaraan, peran mereka adalah sebagai mesin dan bahan bakar. Tanpa dua kompnen
ini, sebuah kendaraan tidak bisa berfungsi. Bagian Keamanan OPPM misalnya, memiliki
tanggungjawab memastikan pondok dalam keadaan aman setiap waktu, semua santri
mematuhi peraturan dan tata tertib keamanan, serta menindak mereka yang
melanggar disiplin. Tantangan mereka sangat berat. Siap dibenci dan dikucilkan
oleh para santri.
Tugas dan tanggungjawabnya berat, tetapi
mengapa menjadi dambaan sebagian santri untuk menjadi penghuni gedung 17
Agustus? Ada beberapa alasan yang mendorong para santri menjadi pengurus harian
dan menghuni gedung 17 Agustus. Pertama, mereka yang terpilih dan mendapat
amanat menjadi pengurus OPPM, berarti mereka dipercaya oleh pak Kyai untuk
mengemban amanat tersebut. Mendapat kepercayaan dari kyai itu suatu yang luar
biasa.
Kedua, dengan kesibukan dan volume
aktifitas yang sangat padat, para pengurus harian OPPM dilatih untuk memiliki
regulasi diri dan disiplin diri yang tinggi. Regulasi diri dan disiplin diri
merupakan kunci sukses dalam segala hal. Tidak ada kesuksesan yang dicapai
tanpa regulasi diri dan disiplin diri yang tinggi.
Ketiga, menjadi pengurus harian OPPM
berarti menjadi role model atau uswah hasanah bagi para santri. Mereka dituntut memberi keteladanan dalam
segala hal yang bersifat akademik maupun non-akademik.
Keempat, di kalangan santri Gontor ada istilah nufudz atau wibawa. Dengan menjadi
pengurus OPPM, berarti kewibawaan mereka bertambah. Karena itu di kalangan santri ada bahasa gaul dengan menggunakan istilah “huwa
nufudz jiddan”. Artinya, ia sangat
berwibawa. Kewibawaan ini
dibentuk dengan memberi tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepada para
pengurus OPPM. Namun, kadang istilah nufudz
ini disalahgunakan oleh santri dengan
menggunakan istilah “yahannu nufudz”
atau pura-pura atau sok berwibawa. Istilah ini diberikan kepada mereka yang
berperilaku tidak alami. Sok berwibawa. Sok paling tahu. Sok paling berwewenang dan sebagainya.
Kelima, belajar melalui penugasan. Bagi
santri Pondok Modern Gontor, belajar melalui penugasan adalah belajar yang
sesungguhnya. Semakin banyak tugas yang diberikan oleh kyai kepada santri,
semakin banyak hal yang dipelajari. Karena itu, di Gontor, santri harus siap
menjalankan tugas. Siap dipimpin dan siap memimpin.
“Cara yang efektif untuk mengajari santri tentang
organisasi dan kehidupan adalah dengan memberi tugas dan tanggungajwab”.
Demikian ucapan Ustadz Abdullah Syukri dalam pelantikan pengurus OPPM yang
selalu penulis ingat sampai sekarang.
Keenam, organisasi sebagai media untuk
aktualisasi diri. Banyak cara mengaktulisasikandiri. Salah satunya adalah
dengan menjadi pengurus OPPM.
Mengingat begitu tingginya impian para
santri untuk menempati gedung17 Agustus, penulis sendiri setiap kali melewati
gedung 17 Agustus senantiasa bergumam, “Kapan ya saya bisa berperan dan
mengabdikan diri seperti kakak-kakak kelas saya itu”.
Alhamdulillah, impian penulis tersebut
menjadi kenyataan dengan mengemban amanat sebagai Wakil Sekretaris OPPM bersama
Syamsuddin Qodri (Jombang) periode 1987-1988.
Saksi Sejarah
Saat terjadi kebakaran gedung 17
Agustus, roda kepengurusan OPPM diketuai
oleh Umar Abduh (Pekalongan) dan Wakil
Ketua adalah Rasyidin Bina (Aceh).
Keduanya didampingi oleh Saifurrahman Nawawi (Madura) dan Shalihul Anwar (Alm) sebagai Sekretaris
dan Wakil Sekretaris. Posisi Bendahara diamanahkan kepada Muttaqin Said (Sulawesi) dan Mahmud Arsyad (Jambi). Selain itu ada lima orang yang diberi
tanggungjawab sebagai Bagian Keamanan. Mereka adalah Ibrahim Barmansyah, Ibarhim Nurdin, Ahmad Yuslan, Syahli, dan
Hasan Bashri.
Selain sebelas orang sebagai pengurus
harian tersebut, saksi sejarah lainya adalah adalah Rahmat Abu Seman (Malaysia)
dan Syamsul Hadi Muslim (Jember). Keduanya saat itu menjadi pengurus Bagian
Pengajaran.
Sementara, Ketua Koordinator adalah Syamsul
Huda (Kediri) dan salah satu guru pembimbing atau Mabikori adalah Ust.
Hasbi. Saat terjadi kebakaran, para pengurus Koordinator Pramuka, sedang sibuk
mengurusi acara perkemahan Calon Pendidik Pramuka (CADIKA) di desa Sooko.
Cadika ini diikuti oleh seluruh siswa kelas lima dan menjadi kegiatan pramuka
yang mereka banggakan. Sebab mereka yang lulus Cadika akan memiliki wewenang
mengajar pramuka bagi adik-adik kelas, mulai dari kelas satu sampai kelas
empat.
Kebakaran
Suasana malam itu memang mencekam dan membuat setiap santri atau ustadh
panik. Malam itu, jarum jam di depan Aula Pondok Mogern Gontor menunjukkan angka 02.00. Bel besar
di samping Aula dibunyikan berkali-kali. Tandanya ada peristiwa luar biasa.
Sebab pada malam hari, biasanya bukan besar, tetapi bel kecil, supaya tidak
mengganggu para santri yang sedang istirahat.
Mengengar bunyi bel yang tidak lumrah tersebut, Suparman Syukur dari Bagian
Pengasuhan Santri, langsung keluar dan menegur santri yang membunyikan bel
tersebut.
“Limadha tadhribu al-jarasa marratin
adidah ya akh. Hadza ghairu lazim!”, ucapnya dengan nada tinggi dan muka
yang menakutkan.
“Fi al-hariq Ustadh”, ucap santri
tersebut.
Semua orang terpaku melihat api. Di satu sisi, dalam diri santri ada rasa takut atas musibah tersebut. Jangan-jangan
menelan korban. Tapi di sisi lain, ada rasa ingin memadamkan api dengan segera
namun bigung bagaimana cara memadamkannya. Dalam kondisi seperti ini, akhirnya Ustadh Hasbi teriak, “Air….! Air…! Tapi saat itu
tidak mudah mencari air pada malam hari. Maklum di Gontor tidak ada kolam air sebagai tempat penampungan air.
“Api sempat menjalar melalui kabel listrik ke gedung Darul Kutub
(Perpustakaan) dan Rayon RITA. Untuk mematikannya, santri memakai handuk basah.
Maka handuk di yang dijemur di belakang Rayon
RITA habis”, cerita Najib.
Seorang santri kelas akhir yang mendapat amanat menjadi Qism al-Makinah (Bagian Disel) langsung
mengambil inisiatif menyalakan disel air mendadak. Tapi menunggu air keluar dari
kran sangat lambat. Akhirnya para santri mengambil air dari selokan di samping Rayon
Rayon Indonesia Empat (RIEM) dan Rayon
Indonesia Tiga (RITA). Beberapa
santri lainnya mengambil air dari Rayon Indonesia Satu (RIS).
Dari mana asalnya api? Ini
merupakan pertanyaan yang sulit dijawab oleh para Pimpinan, Ustadh, dan santri
Pondok Modern Gontor saat itu. Pihak Kepolisian Sektor Ponorogo yang menawarkan
jasa untuk menyelidiki penyebab kebakaran pun tidak diterima oleh K.H. Imam
Zarkasyi. Semuanya merelakan dan menerima kejadian tersebut sebagai ketentuan
dari Allah. Satu hal yang harus disyukuri adalah tidak adanya korban jiwa dalam peristiwa kebakaran tersebut.
Tentang asal usul api, Rasyidin Bina sebagai salah satu saksi hidup
menyatakan bahwa tidak ada yang tahu dengan pasti penyebab kebakaran.
“Penyebab kebakaran belum jelas
betul dan banyak santri yang salah paham.
Mengapa api bisa berjalan di lantai dari depan kantor sampai ke kamar
dan membakar punggung Ustadz Muttaqin”, ungkanya Rasyidin Bisa yang saat ini
memimpin Pondok Raudhatul Hasanah di Medan.
Malam itu juga, peristiwa kebakaran tersebut diketahui oleh Pak Zar, panggilan
akrab untuk K.H. Imam Zarkasyi Pimpinan Pondok Modern Gontor. Namun yang
menjadi pertanyaan adalah, siapa santri yang berani membangunkan beliau dan
bagaimana caranya?
Musthova anggota konsulat Surakarta, mengisahkan, malam itu ada santri yang pernah mengaku membangunkan
Pak Zar. Dia saat itu menjadi bulis lail
(penjaga malam) dan kebetulan mendapat jadwal tugas di depan rumah Pak Zar. Namanya
Furqon Nor, sekarang menjadi Chef di Denmark. Furqon mau mengetuk pintu tidak
berani. Tetapi dia ingat, pagi hari sebelumnya baru belajar muthalaah, judulnya
al-Hariq yang diawali dengan “Kana Muhammadun naiman….”. Kemudian dia
teriak-teriak “alhariq…… alhariq…….”
Mendengar suara tersebut, Pak Zar bangun, keluar dari kediaman beliau dan
menuju Gedung 17 Agustus yang sudah terbakar. Belaiu menyaksikan dari depan
Gedung Darul Kutub.
“Ana lihat sendiri, Pak Zar malam itu masih pakai baju tidur (kaos putih dan celana putih
yang sepanjang lutut), berdiri di bawah pohon
di depan Darul Kutub. Beliau melihat
ke arah api, tapi tidak berbicara apa-apa, apalagi teriak-teriak pun
tidak. Beberapa saat setelah Ustadz Muttaqin Said
dan Ustadz Rasyidin Bisa berhasil dikeluarkan dari kamar yang sudah
ludes dimakan si jago merah, beliapun pergi meninggalkan Darul Kutub menuju
kediamannya”, ucap Saifurrahman mengisahkan kesaksiannya.
Derita Para Korban dan
Keajaiban Allah
Dari sebelas orang pengurus harian OPPM tersebut, ada empat orang yang terjebak
api, yaitu Rasyidin Bina, Muttaqin Said,
Mahmud Arsyad, dan Ahmad Yuslan. Dari
empat orang ini, ada dua orang yang mengalami luka bakar sangat parah, yaitu Rasyidin
Bina dan Muttaqin Said.
Rasyidin Bina yang berbadan tinggi besar mengalami
luka paling parah. Api yang
mengganas malam itu telah menyambar Rasyidin Bina mulai dari bagian tangan, muka, bahu, telinga, hidung, dan
bibir. Sementara Muttaqin Said yang
berbadan ramping, mengalami luka bakar yang sangat parah di bagian punggung.
“Ustadz Khalid Raimin jatuh
pingsan karena mendengar Muttaqin Said minta tolong dari tengah kepungan api
dan api saat itu sudah membumbung di atas atap gedung 17 Agustus”, ungkap
Rasyidin Bina yang menjadi pelaku sejarah.
Saifurrahman Nawawi yang malam itu juga tidur di kamar pengurus harian
selamat dari amukan api. Bagaimana dia
bisa selamat, sementara dua kawannya, Rasyidin Bina dan Muttaqin Said luka
parah?
“Malam itu, saya baru selesai ngetik, terus tidur di bawah meja
mesin tik. Begitu melihat ada api, maka saya langsung loncat keluar dari
ruangan”, ungkap Saifurrahman Nawari yang sekarang menjadi Pimpinan Pondok
Pesantren Nurul Huda Madura.
Bagi alumni yang terlibat langsung dalam
kebakaran tersebut meyakini adanya keajaiban dan pertolongan Allah. Sebab
meskipun gedung terbakar habis, tidak ada korban jiwa.
Menurut Rasyidin
Bisa, saat ia terkepung api di dalam kamar, A. Kadir mencongkeltralis jendela dengan
broti panjang . Tapi broti itu patah. Kadir tidak kehilangan akal. Dengan
broti yang patah itu, ia membuka tralis
jendela.
“Saat itu saya mendorong tralis dengan kaki dari dalam kamar. Satu besi jeruji lepas dari pangkalnya. Saya paksa untuk keluar lewat jendela. Kepala
saya bisa masuk di antara jeruji besi itu. Tetapi saya tidak bisa keluar karena
bahu dan leher saya nyangkut di besi. Dengan
segala kekuatan yang ada, saya paksa untuk bisa lewat dari jeruji besi yang
mulai memanas. Alhamdulillah, saya bisa keluar”, ungkap Rasyidin Bisa sambil
menambahkan biasanya, burung atau kucing, kalau lepalanya lewat badannya juga
lewat.
Setelah melewati
jeruji besi, tambah Rasyidin Bisa, dia tidak diam diri. Apalagi lari menjauh
dari gedung yang sudah terbakar. Saat
itu,Rasyidin yang sudah mengalami luka bakar paling parah, masih
berjuang menyelamatkan teman-temannya.
“Dari luar jendela, satu persatu saya tarik Muttaqin Said, Mahmud Arsyad, dan
Yuslan. Alhamdulilah selamat semua. Ini betul-betul keajaiban dan bukti
kekuasaan Allah”, ungkap Rasyidin Bina mengisahkan tragedi malam itu.
Usai shalat subuh, Mukhlisin pengurus Bagian Pengajaran, berpidato di
masjid memberikan penjelasan tentang peristiwa kebakaran tersebut. Semua
santri, saat itu menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid. Tidak seperti
biasanya, para santri, kecuali santri kelas lima dan enam, menunaikan shalat
subuh di asrama sebab setelah shalat subuh ada tadarus al-Quran dan penguatan
bahasa Arab atau Inggris.
Sabtu pagi, setelah selesai shalat subuh, serombongan Polisi dari Polres
Ponorogo datang ke kampus Pondok Modern Gontor.
Mereka menawarkan untuk menelusuri sebab terjadinya kebakaran tersebut. Namun pihak Pondok Gontor tidak mau menerima.
Karena itu, masalah kebakaran itu diselesaikan secara internal tanpa ada campur
tangan dari pihak kepolisian.
Pagi itu juga, para santri bergotong
royong membersihkan puing-puing dan sisa-sisa gedung yang terbakar. Sementara Rasyidin Bina dirawat di Rumah Sakit Umum Ponorogo, sedangkan Muttaqin Said dirawat di sebuah Rumah Sakit di
Surabaya.
Setelah satu minggu menjalani perawatan intensif di rumah sakit, Rasyidin
Bina ingat kampung halaman. Dia menuliskan:
“Malam Jumat, 3 Dzulhijjah…. (tahun 1983
Masehi) terjadi kebakaran. Malam Jumat 10 Dzulhijjah saya di RSU
Ponorogo lagi dirawat karena kebakaran
tersebut. Pada tanggal 10 Dzulhijjah
malam Jumat tersebut, suara takbir menyambut hari raya haji menggema dari
masjid-masjid di seluruh penjuru sekitar RSU Ponorogo. Saya teringat kampung….!
“Besoknya, usai shalat Id,
rombongan Bu Syukri, Bu Bakir, Bu Badri,
Bu Sutaji dan lain-lainl, datang ke
rumah sakit. Bu Syukri bilang, “ Rasyidin, Pak Zar menangis di mimbar ketika
beliau bicara setelah khatib turun dari mimbar tadi. Kemungkinan
karena kesabaran Rasyidin menerima musibah kebakaran, atau karena dokumentasi
habis terbakar”.
Kunjungan tersebut memberi semangat dan motivasi bagi Rasyidin Bina untuk tetap tabah, sabar, dan segera
sembuh. Rasa ingin pulang kampung langsung hilang. Dengan terus melakukan dzikir dan
berdoa kepada Allah, Rasyidin menjalani
perawatan di rumah sakit.
Alhamdulilah, akhirnya Allah memberikan kesembuhan kepada Rasyidin Bina.
Namun, mungkin karena fasilitas kesehatan
yang terbatas dan kurang canggih, setelah sembuh, masih nampak dengan jelas
bekas luka bakar di bagian tubuh Rasyidin Bina. Berbeda dengan Muttaqin Said
yang dirawat di Rumah Sakit di Surabaya, setelah sembuh, tidak ada bekas luka
bakar.
Luka bakar yang membekas pada
Rasyidin Bina tidak membuat dirinya malu. Rasyidin tetap semangat seperti
semula. Bahkan setelah sembuh, ujian dan cobaan yang dialami Rasyidin belum
berhenti. Rasyidin mengalami cobaan
baru. Di saat teman-temannya naik ke
kelas enam, Rasyidin belum mendapat kesempatan untuk naik ke kelas enam. Namun
demikian, Rasyidin Bisa tetap bertekad untuk belajar di Pondok Modern Gontor
sampai tamat kelas enam.
“Saya salut saya beliau (Rasyidin Bina). Sudah kena musibah, tetap di
kelas 5 dan tetap jadi wakil ketua OPPM. Sungguh suatu kesabaran yang
tangguh. Sebab zaman itu, tidak mudah
mencari santri yang mau duduk di kelas 5 dua kali. Mereka yang tidak
naik ke kelas 6, lebih suka pulang selamanya alias ruju’
ala dawam. Alasan mereka, nufudhuhu yasqut atau martabatuhu saqotat,” ungkap Faruq yang
akhirnya satu angkatan dengan Rasyidin Bina
Para korban kebakaran selalu diingat oleh Pak Zar. Dari sekian korban, ada dua santri yang mendapat sebutan istimewa dari Pak Zar. Sebagaimana diungkapkan oleh Faruq, sampai Pak Zar wafat, santri yang pernah disebut “anakku”
oleh Pak Zar hanya dua orang, yiatu
Rasyidin Bina dan Muttaqin Said.
Sebutan ini, bisa jadi karena mereka mendapat ujian yang sangat berat
dalam peristiwa kebakaran yang tragis terebut.
Pasca Kebakaran
Setelah kebakaran, kantor OPPM untuk sementara, pindah ke Rayon Indonesia
Dua (Raindus) kamar 1. Saat itu, ada
kejadikan lagi, sebagaimana diungkapkan oleh saksi mata, Saifurrahman Nawawi.
“Si Boim Barmansyah, panggilan lain
dari Ibrahim Barmansyah, merokok, terus
rokoknya masih nyala, dia ketiduran, dan kasurnya terbakar. Hampir saja malam itu Raindus kamar 1 itu
mengulang kejadian di Gedung 17 Agustus”, ungkap Saifurrahman Pimpinan Pondok
Nurul Huda Madura.
Usai direhab, pengurus OPPM dan
Koordinator kembali menempati gedung 17 Agustus. Namun kali ini ada pergeseran.
Ruang pengurus koordinator yang
semula di bagian barat dari gedung 17 Agustus, pindah ke timur dan ruang pengurus OPPM pindah ke bagian barat. Sementara qismul i’lam menyempil ke lantai 1 di
Rayon RIEM bersama bagian penggerak bahasa.
Perpindahan ini, memiliki dampak tersendiri bagi sebagian santri, sbagaimana
diungkapkan oleh Najib dari Lamongan.
“Yang paling membuat saya dongkol, salon gede itu diarahkan ke Bagian
Penatu di Gedung Irak. Tiap
pagi selalu mengganggu tidur saya dengan lagu qasidah Nasida Ria. Masih enak tidur, ehh dengar
suara keras: Perdamaian… perdamaian. Duh
kalau kaya gini sih ngajak perang
namanya”, ungkap Najib yang kini menjadi pengusaha garmen sukses di Jakarta.
Tiap pagi, tambah Najib, saya sampai
sering adu mulut dengan Arwani gara-gara posisi salón itu. Sebetulnya
bukan tidak mau kompromi kalau memang
terpaksa harus seperti itu posisinya. Ya, volume dan lagunya itu yang wajar
gitu. Pagi dibunyikan nasyid Nasida Ria. Malam hari diperdengarkan lagu dangdut Roma Irama.
Perut saya mules tiap hari. Setelah baca Quran, Bapenat kan buka. Suara dangdut
yang selalu mengganggu kerja.
Pengakuan Alumni
1. Najib (Bagian Penatu, Lamongan)
Najib sendiri tidak pernah tinggal di gedung 17
Agustus. Maklum, santri yang satu ini lebih suka menyebut dirinya sebagai
santri semi proletar. Najib tinggal di gedung Irak, di sebelah Rayon Indonesia
Empat (RIEM). Malam itu, dia sempat bangun dan melihat pak Zar.
Najib, kepada para korban, menyumbangkan baju dari
bagian laundry. Baju yang sudah tidak bertuan.
“Maaf, baru segitu kemampuan kami waktu itu”, ucapnya melalui group WA.
Seperti biasa, malam jumat adalah malam panjang.
Anak kelas 6 baru pulang dari Mulahid muhadharah. Sementara bagian pengajaran,
mungkin capek keliling ruang muhadharah sepondok. Ada teman bagian pengajaran
yang suka main ke gedung Irak. Namanya Syamsul Hadi Muslim dari Jember.
Syamsul suka menghabiskan malam panjangnya di Irak. Bahkan sering tidur di sana. Mungkin karena ruangannya luas dan sedikit penghuninya. Apalagi bangunannya waktu itu masih rumah joglo dan biliknya dari kayu dan bamboo. Jadi makin adem saja. Meski hanya berlantai tanah, namun kami bahagian.
Syamsul Hadi. Ceritanya, Syamsul Hadi setelah
melepas penat dari Irak, dia balik ke 17 Agustus untuk ganti batu. Setelah
ganti baju kebesarannya (Jas) dengan baju tidur ala kadarnya dengan sarung, dia kembali ke Irak. Tidur di
sana. Begitu kebakaran terjadi, dia bengong. Sambil cengengesan, dia bilang,
“Kalau tahu mau kebakaran, ga usah ganti baju”.
Lain lagi dengan cerita Tusiran yang sering kami tulis namanya dengan bahasa Inggris “ to sea run”. Dia baru jadi bagian umum. Asalnya dari Gontor. Bagi dia, membeli sepatu kulit tentulah sudah jadi beban yang lumayan. Balum sebulan dia beli, ternyata kebakaran. Dia menangisi sepatunya, seperti Ghozali menangisi gitarnya.
Ustadh Farid Sulistyo (Malo), saat itu menjadi Bindep
POT Khusus Ponorogo Luar. POT ini baru saja bangga dapat memiliki
lemari baru sebagaimana POT lain. Ternyata musibah datang dan ludeslah lemari tersebut dengan segala isinya.
2. Rahmat Abu Seman (Bagian Pengajaran, Serawak
Malaysia)
Rahmat sempat menyelamatkan buku absen kelas sore.
Pada hari berikutnya banyak santri yang tidak hadir di kelas sore karena
menyangka tidak ada daftar absennya.
Semua disidang di kantor baru. Jauhari dan Muchlisin marah sekali kepada santri yang melanggar sampai
berkali-kali menempeleng mereka.
Mengulang kelas karena tidak naik kelas di Gontor bukan
hal yang aib. Rahmat Abu Seman menyatakan, “ yang lebih saya kagumi, ada santri
Gontor yang mengulang di kelas 6. Saat
itu dia sekelas dengan saya dan sekarang menjadi Pimpinan Pondok.
3. Saifurrahman Nawawi (Sekretaris, Madura)
Seorang santri, sudah lunas membayar kursus mengetik, tetapi ia harus
membayar lagi karena semua uang musnah.
Saya harus bekerja keras menyiapkan laporan
pertanggungjawaban pengurus OPPM sebab semua dokumen habis dilahap si jago
merah.
4. Farouk Ridwan (Bagian Kesenian, Kalimantan)
Menurut Farouk waktuserah terima jabatan uang Bagian Kesenian, uangnya minim sekali dan
peralatan serba kurang. Kondisi
ini menjadikan pengurus Bakesen yang baru memutar otak bagaimana cara
mendapatkan biaya. Farouk dan kawan-kawan menjadi kreatif.
Mereka cari uang kas,membuat buku letter
dan buku cara menggambar.