Senin, 28 April 2014

PERISTIWA KEBAKARAN GEDUNG 17 AGUSTUS Antara Musibah dan Keajaiban Allah



 Catatan  penulis: Terimakasih saya sampaikan kepada para alumni Gontor yang sudah memberikan informasi, data, dan kesaksian melalui group Whatapps. Semoga Allah membalas kebaikan mereka. Bagi para alumni yang masih memiliki informasi, saya akan sangat berterima kasih, jika mau berbagi kepada saya dengan memberikan komentar di blog ini. Atau jika informasi yang saya tulis ini salah,mohon berkenan membenarkan.
Sekian dan selamat membaca.



Peristiwa kebakaran gedung 17 Agustus Pondok Modern Gontor terjadi pada 1983. Meskipun sudah 31 tahun yang lalu, peristiwa tersebut masih belum lepas dari ingatan para alumni dan banyak sekali pelajaran yang diambil dari peristiwa tersebut. Bukan hanya bagi para pengurus OPPM dan Koordinator yang  menempati gedung tersebut, tapi juga bagi para santri secara umum.

Bagi santri Pondok Gontor era 1990-an sampai sekarang, mungkin tidak banyak tahu tentang peristiwa itu. Apalagi kondisi gedungnya sekarang sudah berbeda sama sekali dibandingkan kondisi gedung saat itu. Oleh sebab itu, sebelum menjelaskan peristiwa kebakaran gedung dan keajaiban yang terjadi pada malam Jumat tersebut, penulis akan mengulas sekilas tentang gedung 17 Agustus.

Gedung 17 Agustus

Gedung 17 Agustus identik dengan Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) dan Koordinator Pramuka.  Begitu mendengar atau melihat gedung 17 Agustus, yang terdetik di benak para santri saat itu adalah jajaran pengurus harian OPPM dan Koordinator Pramuka.  Di gedung satu lantai dengan cat warna hijau dan krem serta terdiri dari lima kamar ini, para  pengurus OPPM dan Koordinator Pramuka menjalankan roda organisasi sehari-hari.  Pengurus OPPM dan Pengurus Koordinator masing-masing menempati dua ruang. Satu ruang lagi, di bagian tengah,  ditempati oleh Mabikori (Majelis Pembimbing Koordinator) yang terdiri dari pada ustadz Pondok Modern Gontor.

Di antara pengurus OPPM tersebut ada yang disebut dengan Pengurus Harian, yaitu Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Keamanan. Mereka menempati satu kamar. Jumlahnya 11 orang, dengan rincian satu orang ketua dan satu orang wakil ketua, dua orang sekretaris, dua orang bendahara, dan lima orang bagian keamanan. Mengingat peran dan fungsi mereka yang sangat krusial, maka mereka ditempatkan di satu kamar. Di Gedung 17 Agustus itu juga bertempat para pengurus OPPM lainnya, yaitu Bagian Pengajaran, diantaranya adalah Rahmat Abu Seman (Malaysia) dan Syamsul Hadi Muslim (Jember), pengurus Bagian Kesenian, pengurus Bagian Penerangan, dan pengurus Bagian Olah Raga.

Kondisi gedung 17 Agustus saat itu padat penghuni. Karena banyak pengurus Bagian OPPM yang menempati gedung 17 Agustus, maka suasana terasa pengap dan penghuninya suka nongkrong di gedung Irak  atau Wisma Hadi, tempat penerimaan tamu yang berjarak sekitar sepuluh meter.

Pengurus OPPM lainnya, ditempatkan di tempat yang berbeda-beda.Tidak di gedung 17 Agustus. Diantaranya adalah pengurus Bagian Koperasi Dapur (KOPDA), Bagian Koperasi Pelajar (KOPEL), Bagian Kantian, Bagian Penerimaan Tamu, Bagian Kesehatan, Bagian Perpustakaan, Bagian Keterampilan, Bagian Penatu.

Di luar kepengurusan OPPM dan Koordinator, ada satu bagian yang sangat krusial, yaitu  Bagian Disel. Tugasnya mengurusi mesin disel air dan disel listrik. Jadi lancarnya air dan penerangan pondok sangat bergantung kepada pengurus Bagian Disel.

Peran pengurus OPPM dan Bagian Disel itu seperti peran Kementerian atau Lembaga di  pemerintahan  negara kita. Bagian Disel itu ibarat PLN dan Dinas Perairan. Bagian Kesehatan, ibarat Kementerian Kesehatan. Demikian bagian-bagian lainnya. Semua itu adalah sebuah miniatur kepemimpinan yang memiliki jiwa negarawan.
  
Saat itu gedung-gedung di Pondok Modern Gontor  belum ada yang tingkat kecuali gedung Saudi bertingkat tiga dan Rayon Indonesia Empat (RIEM) bertingkat dua. Namun, seiring dengan kemajuan dan tuntutan zaman, di Pondok Gontor sekarang, sulit menemukan gedung yang tidak bertingkat, termasuk gedung 17 Agustus.  Gedung Rayon Indonesia Dua (RAINDUS) yang terletak di depan gedung 17 Agustus atau Rayon Indonesia Tiga (RITA) yang terletak di sebelah kiri, kini sudah berubah menjadi dua lantai. Sementara  Gedung Darul Kutub, sekarang sudah berubah nama menjadi gedung Shantiniketan.  Meskipun sudah dibangun dengan dua lantai, nama gedung  17 Agustus  tetap dipertahankan. Tidak berubah sebagaimana gedung Darul Kutub.
Impian Para Santri
Bagi sebagian santri, menempati gedung 17 Agustus merupakan sebuah impian tersendiri. Tidak sembarang santri bisa menempati gedung tersebut. Karena itu santri yang menghuni gedung 17 Agustus memiliki “nilai plus” (keterampilan khusus).
 “Pengurus OPPM yang menempati gedung 17 Agustus itu santri pilihan. Tidak sembarang santri. Seleksinya ketat sebab ada kriteria dan indikator khusus untuk bisa menempati gedung yang menjadi pusat organisasi santri tersebut”, ungkap salah satu santri kakak kelas penulis suatu hari.
Tanggungjawab pengurus OPPM, tambah santri senior yang pernah menjadi penghuni gedung 17 Agustus tersebut, sangat berat. Mereka menjadi motor penggerak aktivitas santri dari waktu ke waktu. Ibarat sebuah kendaraan, peran mereka adalah sebagai mesin dan bahan bakar. Tanpa dua kompnen ini, sebuah kendaraan tidak bisa berfungsi. Bagian Keamanan OPPM misalnya, memiliki tanggungjawab memastikan pondok dalam keadaan aman setiap waktu, semua santri mematuhi peraturan dan tata tertib keamanan, serta menindak mereka yang melanggar disiplin. Tantangan mereka sangat berat. Siap dibenci dan dikucilkan oleh para santri.
Tugas dan tanggungjawabnya berat, tetapi mengapa menjadi dambaan sebagian santri untuk menjadi penghuni gedung 17 Agustus? Ada beberapa alasan yang mendorong para santri menjadi pengurus harian dan menghuni gedung 17 Agustus. Pertama, mereka yang terpilih dan mendapat amanat menjadi pengurus OPPM, berarti mereka dipercaya oleh pak Kyai untuk mengemban amanat tersebut. Mendapat kepercayaan dari kyai itu suatu yang luar biasa.
Kedua, dengan kesibukan dan volume aktifitas yang sangat padat, para pengurus harian OPPM dilatih untuk memiliki regulasi diri dan disiplin diri yang tinggi. Regulasi diri dan disiplin diri merupakan kunci sukses dalam segala hal. Tidak ada kesuksesan yang dicapai tanpa regulasi diri dan disiplin diri yang tinggi.
Ketiga, menjadi pengurus harian OPPM berarti menjadi role model atau uswah hasanah  bagi para santri. Mereka dituntut memberi keteladanan dalam segala hal yang bersifat akademik maupun non-akademik.
Keempat, di kalangan santri Gontor ada istilah nufudz atau wibawa. Dengan menjadi pengurus OPPM, berarti kewibawaan mereka bertambah.  Karena itu di kalangan santri ada bahasa gaul dengan menggunakan istilah  huwa nufudz jiddan”. Artinya, ia sangat berwibawa. Kewibawaan ini dibentuk dengan memberi tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepada para pengurus OPPM. Namun, kadang istilah nufudz ini disalahgunakan  oleh santri dengan menggunakan istilah “yahannu nufudz” atau pura-pura atau sok berwibawa. Istilah ini diberikan kepada mereka yang berperilaku tidak alami. Sok berwibawa. Sok paling tahu. Sok paling berwewenang dan sebagainya.
Kelima, belajar melalui penugasan. Bagi santri Pondok Modern Gontor, belajar melalui penugasan adalah belajar yang sesungguhnya. Semakin banyak tugas yang diberikan oleh kyai kepada santri, semakin banyak hal yang dipelajari. Karena itu, di Gontor, santri harus siap menjalankan tugas. Siap dipimpin dan siap memimpin.
“Cara yang efektif untuk mengajari santri tentang organisasi dan kehidupan adalah dengan memberi tugas dan tanggungajwab”. Demikian ucapan Ustadz Abdullah Syukri dalam pelantikan pengurus OPPM yang selalu penulis ingat sampai sekarang.
Keenam, organisasi sebagai media untuk aktualisasi diri. Banyak cara mengaktulisasikandiri. Salah satunya adalah dengan menjadi pengurus OPPM.
Mengingat begitu tingginya impian para santri untuk menempati gedung17 Agustus, penulis sendiri setiap kali melewati gedung 17 Agustus senantiasa bergumam, “Kapan ya saya bisa berperan dan mengabdikan diri seperti kakak-kakak kelas saya itu”.
Alhamdulillah, impian penulis tersebut menjadi kenyataan dengan mengemban amanat sebagai Wakil Sekretaris OPPM bersama Syamsuddin Qodri (Jombang) periode 1987-1988.
Saksi Sejarah
Saat terjadi kebakaran gedung 17 Agustus, roda kepengurusan  OPPM diketuai oleh   Umar Abduh (Pekalongan) dan Wakil Ketua adalah  Rasyidin Bina (Aceh). Keduanya didampingi oleh Saifurrahman Nawawi (Madura)  dan Shalihul Anwar (Alm) sebagai Sekretaris dan Wakil Sekretaris.  Posisi Bendahara diamanahkan  kepada Muttaqin Said  (Sulawesi) dan Mahmud Arsyad (Jambi).  Selain itu ada lima orang yang diberi tanggungjawab sebagai Bagian Keamanan. Mereka adalah  Ibrahim Barmansyah,  Ibarhim Nurdin, Ahmad Yuslan, Syahli, dan Hasan Bashri.

Selain sebelas orang sebagai pengurus harian tersebut, saksi sejarah lainya adalah adalah Rahmat Abu Seman (Malaysia) dan Syamsul Hadi Muslim (Jember). Keduanya saat itu menjadi pengurus Bagian Pengajaran.
Sementara, Ketua Koordinator adalah Syamsul Huda  (Kediri) dan salah satu  guru pembimbing atau Mabikori adalah Ust. Hasbi. Saat terjadi kebakaran, para pengurus Koordinator Pramuka, sedang sibuk mengurusi acara perkemahan Calon Pendidik Pramuka (CADIKA) di desa Sooko. Cadika ini diikuti oleh seluruh siswa kelas lima dan menjadi kegiatan pramuka yang mereka banggakan. Sebab mereka yang lulus Cadika akan memiliki wewenang mengajar pramuka bagi adik-adik kelas, mulai dari kelas satu sampai kelas empat.  

Kebakaran

Suasana malam itu memang mencekam dan membuat setiap santri atau ustadh panik. Malam itu, jarum jam di depan Aula Pondok Mogern Gontor menunjukkan angka 02.00. Bel besar di samping Aula dibunyikan berkali-kali. Tandanya ada peristiwa luar biasa. Sebab pada malam hari, biasanya bukan besar, tetapi bel kecil, supaya tidak mengganggu para santri yang sedang istirahat.

Mengengar bunyi bel yang tidak lumrah tersebut, Suparman Syukur dari Bagian Pengasuhan Santri, langsung keluar dan menegur santri yang membunyikan bel tersebut.
Limadha tadhribu al-jarasa marratin adidah ya akh. Hadza ghairu lazim!”, ucapnya dengan nada tinggi dan muka yang menakutkan.
Fi al-hariq Ustadh”, ucap santri tersebut.

Semua orang terpaku melihat api. Di satu sisi, dalam diri santri ada rasa takut atas musibah tersebut. Jangan-jangan menelan korban. Tapi di sisi lain, ada rasa ingin memadamkan api dengan segera namun bigung bagaimana cara memadamkannya. Dalam kondisi seperti ini, akhirnya  Ustadh Hasbi teriak, “Air….! Air…!  Tapi saat itu  tidak mudah mencari air pada malam hari. Maklum di Gontor tidak ada kolam air sebagai tempat penampungan air.

“Api sempat menjalar melalui kabel listrik ke gedung Darul Kutub (Perpustakaan) dan Rayon RITA. Untuk mematikannya, santri memakai handuk basah. Maka handuk di yang dijemur di  belakang Rayon RITA habis”, cerita Najib.

Seorang santri kelas akhir yang mendapat amanat menjadi Qism al-Makinah (Bagian Disel) langsung mengambil inisiatif menyalakan disel   air mendadak. Tapi menunggu air keluar dari kran sangat lambat. Akhirnya para santri mengambil air dari selokan di samping Rayon Rayon Indonesia Empat (RIEM) dan  Rayon Indonesia Tiga (RITA). Beberapa santri lainnya mengambil air dari Rayon Indonesia Satu (RIS).

Dari mana asalnya api? Ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab oleh para Pimpinan, Ustadh, dan santri Pondok Modern Gontor saat itu. Pihak Kepolisian Sektor Ponorogo yang menawarkan jasa untuk menyelidiki penyebab kebakaran pun tidak diterima oleh K.H. Imam Zarkasyi. Semuanya merelakan dan menerima kejadian tersebut sebagai ketentuan dari Allah. Satu hal yang harus disyukuri adalah  tidak adanya  korban jiwa dalam peristiwa kebakaran tersebut.

Tentang asal usul api, Rasyidin Bina sebagai salah satu saksi hidup menyatakan bahwa tidak ada yang tahu dengan pasti penyebab kebakaran.

“Penyebab kebakaran  belum jelas betul dan banyak santri yang salah paham.  Mengapa api bisa berjalan di lantai dari depan kantor sampai ke kamar dan membakar punggung Ustadz Muttaqin”, ungkanya Rasyidin Bisa yang saat ini memimpin Pondok Raudhatul Hasanah di Medan.  

Malam itu juga, peristiwa kebakaran tersebut diketahui oleh Pak Zar, panggilan akrab untuk K.H. Imam Zarkasyi Pimpinan Pondok Modern Gontor. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, siapa santri yang berani membangunkan beliau dan bagaimana caranya?

Musthova anggota konsulat Surakarta, mengisahkan, malam itu  ada santri yang pernah mengaku membangunkan Pak Zar. Dia saat itu menjadi bulis lail (penjaga malam) dan kebetulan mendapat jadwal tugas di depan rumah Pak Zar. Namanya Furqon Nor, sekarang menjadi Chef di Denmark. Furqon mau mengetuk pintu tidak berani. Tetapi dia ingat, pagi hari sebelumnya baru belajar muthalaah, judulnya al-Hariq yang diawali dengan “Kana Muhammadun naiman….”. Kemudian dia teriak-teriak “alhariq…… alhariq…….”

Mendengar suara tersebut, Pak Zar bangun, keluar dari kediaman beliau dan menuju Gedung 17 Agustus yang sudah terbakar. Belaiu menyaksikan dari depan Gedung Darul Kutub.   

“Ana lihat sendiri, Pak Zar malam itu masih  pakai baju tidur (kaos putih dan celana putih yang sepanjang lutut), berdiri di bawah pohon  di depan Darul Kutub. Beliau melihat  ke arah api, tapi tidak berbicara apa-apa, apalagi teriak-teriak pun tidak.  Beberapa saat setelah Ustadz  Muttaqin Said  dan Ustadz Rasyidin Bisa berhasil dikeluarkan dari kamar yang sudah ludes dimakan si jago merah, beliapun pergi meninggalkan Darul Kutub menuju kediamannya”, ucap Saifurrahman mengisahkan kesaksiannya.

Derita Para Korban dan Keajaiban Allah

Dari sebelas orang pengurus harian  OPPM tersebut, ada empat orang yang terjebak api, yaitu  Rasyidin Bina, Muttaqin Said, Mahmud Arsyad, dan Ahmad Yuslan.  Dari empat orang ini, ada dua orang yang mengalami luka bakar sangat parah, yaitu Rasyidin Bina dan  Muttaqin Said.
Rasyidin Bina yang berbadan tinggi besar mengalami luka paling parah. Api yang mengganas malam itu telah menyambar Rasyidin Bina mulai dari  bagian tangan, muka, bahu, telinga, hidung, dan bibir. Sementara Muttaqin Said yang berbadan ramping, mengalami luka bakar yang sangat parah di bagian punggung.
“Ustadz  Khalid Raimin jatuh pingsan karena mendengar Muttaqin Said minta tolong dari tengah kepungan api dan api saat itu sudah membumbung di atas atap gedung 17 Agustus”, ungkap Rasyidin Bina yang menjadi pelaku sejarah.

Saifurrahman Nawawi yang malam itu juga tidur di kamar pengurus harian selamat dari amukan api.  Bagaimana dia bisa selamat, sementara dua kawannya, Rasyidin Bina dan Muttaqin Said luka parah?
“Malam itu, saya  baru  selesai ngetik, terus tidur di bawah meja mesin tik. Begitu melihat ada api, maka saya langsung loncat keluar dari ruangan”, ungkap Saifurrahman Nawari yang sekarang menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Huda Madura.

Bagi alumni yang terlibat langsung dalam kebakaran tersebut meyakini adanya keajaiban dan pertolongan Allah. Sebab meskipun gedung terbakar habis, tidak ada korban jiwa.  
Menurut Rasyidin Bisa, saat ia terkepung api di dalam kamar, A. Kadir mencongkeltralis jendela dengan broti panjang .  Tapi broti itu patah.  Kadir tidak kehilangan akal. Dengan broti  yang patah itu, ia membuka tralis jendela.

“Saat itu  saya  mendorong tralis dengan kaki dari  dalam kamar.  Satu besi jeruji lepas dari pangkalnya.  Saya paksa untuk keluar lewat jendela. Kepala saya bisa masuk di antara jeruji besi itu. Tetapi saya tidak bisa keluar karena  bahu dan leher saya nyangkut di besi. Dengan segala kekuatan yang ada, saya paksa untuk bisa lewat dari jeruji besi yang mulai memanas. Alhamdulillah, saya bisa keluar”, ungkap Rasyidin Bisa sambil menambahkan biasanya, burung atau  kucing, kalau lepalanya lewat badannya juga lewat.

Setelah melewati jeruji besi, tambah Rasyidin Bisa, dia tidak diam diri. Apalagi lari menjauh dari gedung yang sudah terbakar.  Saat itu,Rasyidin  yang sudah  mengalami luka bakar paling parah, masih berjuang menyelamatkan teman-temannya.

“Dari luar jendela, satu persatu saya tarik Muttaqin Said, Mahmud Arsyad, dan Yuslan. Alhamdulilah selamat semua. Ini betul-betul keajaiban dan bukti kekuasaan Allah”, ungkap Rasyidin Bina mengisahkan tragedi malam itu.  

Usai shalat subuh, Mukhlisin pengurus Bagian Pengajaran, berpidato di masjid memberikan penjelasan tentang peristiwa kebakaran tersebut. Semua santri, saat itu menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid. Tidak seperti biasanya, para santri, kecuali santri kelas lima dan enam, menunaikan shalat subuh di asrama sebab setelah shalat subuh ada tadarus al-Quran dan penguatan bahasa Arab atau Inggris.

Sabtu pagi, setelah selesai shalat subuh, serombongan Polisi dari Polres Ponorogo datang ke kampus Pondok Modern Gontor.  Mereka menawarkan untuk menelusuri sebab terjadinya kebakaran tersebut.  Namun pihak Pondok Gontor tidak mau menerima. Karena itu, masalah kebakaran itu diselesaikan secara internal tanpa ada campur tangan dari pihak kepolisian.

Pagi itu juga, para  santri bergotong royong membersihkan puing-puing dan sisa-sisa gedung yang terbakar. Sementara  Rasyidin Bina dirawat di Rumah  Sakit Umum Ponorogo, sedangkan  Muttaqin Said dirawat di sebuah Rumah Sakit di Surabaya.

Setelah satu minggu menjalani perawatan intensif di rumah sakit, Rasyidin Bina ingat kampung halaman. Dia menuliskan:

“Malam Jumat, 3 Dzulhijjah…. (tahun 1983 Masehi)  terjadi kebakaran.  Malam Jumat 10 Dzulhijjah saya di RSU Ponorogo  lagi dirawat karena kebakaran tersebut.  Pada tanggal 10 Dzulhijjah malam Jumat tersebut, suara takbir menyambut hari raya haji menggema dari masjid-masjid di seluruh penjuru sekitar RSU Ponorogo.  Saya teringat kampung….!

“Besoknya, usai shalat Id, rombongan Bu Syukri, Bu Bakir,  Bu Badri, Bu Sutaji dan lain-lainl,  datang ke rumah sakit. Bu Syukri bilang, “ Rasyidin, Pak Zar menangis di mimbar ketika beliau bicara setelah khatib turun dari mimbar tadi. Kemungkinan karena kesabaran Rasyidin menerima musibah kebakaran, atau karena dokumentasi habis terbakar”.

Kunjungan tersebut memberi semangat dan motivasi bagi Rasyidin  Bina untuk tetap tabah, sabar, dan segera sembuh. Rasa ingin pulang kampung langsung   hilang. Dengan terus melakukan dzikir dan berdoa kepada Allah, Rasyidin  menjalani perawatan di rumah sakit.   

Alhamdulilah, akhirnya Allah memberikan kesembuhan kepada Rasyidin Bina. Namun, mungkin karena  fasilitas kesehatan yang terbatas dan kurang canggih,  setelah sembuh, masih nampak dengan jelas bekas luka bakar di bagian tubuh Rasyidin Bina. Berbeda dengan Muttaqin Said yang dirawat di Rumah Sakit di Surabaya, setelah sembuh, tidak ada bekas luka bakar.  

Luka  bakar yang membekas pada Rasyidin Bina tidak membuat dirinya malu. Rasyidin tetap semangat seperti semula. Bahkan setelah sembuh, ujian dan cobaan yang dialami Rasyidin belum berhenti.  Rasyidin mengalami cobaan baru.  Di saat teman-temannya naik ke kelas enam, Rasyidin belum mendapat kesempatan untuk naik ke kelas enam. Namun demikian, Rasyidin Bisa tetap bertekad untuk belajar di Pondok Modern Gontor sampai tamat kelas enam.

“Saya salut saya beliau (Rasyidin Bina). Sudah kena musibah, tetap di kelas 5 dan tetap jadi wakil ketua OPPM. Sungguh suatu kesabaran yang tangguh.  Sebab zaman itu, tidak mudah mencari  santri yang mau  duduk di kelas 5 dua kali. Mereka yang tidak naik ke kelas 6, lebih suka pulang selamanya alias  ruju’ ala dawam.  Alasan mereka, nufudhuhu  yasqut atau martabatuhu saqotat,” ungkap Faruq yang akhirnya satu angkatan dengan Rasyidin Bina

Para korban kebakaran selalu diingat oleh Pak Zar. Dari sekian korban, ada dua santri yang mendapat sebutan istimewa dari Pak Zar.  Sebagaimana diungkapkan oleh Faruq,  sampai Pak Zar  wafat, santri yang pernah disebut  anakku” oleh Pak Zar hanya dua orang, yiatu  Rasyidin Bina dan Muttaqin Said.  Sebutan ini, bisa jadi karena mereka mendapat ujian yang sangat berat dalam peristiwa kebakaran yang tragis terebut.


Pasca Kebakaran

Setelah kebakaran, kantor OPPM untuk sementara, pindah ke Rayon Indonesia Dua (Raindus) kamar 1.  Saat itu, ada kejadikan lagi, sebagaimana diungkapkan oleh saksi mata, Saifurrahman Nawawi.

 “Si Boim Barmansyah, panggilan lain dari Ibrahim Barmansyah,  merokok, terus rokoknya masih nyala, dia ketiduran, dan kasurnya terbakar.  Hampir saja malam itu Raindus kamar 1 itu mengulang kejadian di Gedung 17 Agustus”, ungkap Saifurrahman Pimpinan Pondok Nurul Huda Madura.

Usai direhab, pengurus OPPM  dan Koordinator kembali menempati gedung 17 Agustus. Namun kali ini ada pergeseran. Ruang pengurus koordinator yang semula di bagian barat dari gedung 17 Agustus, pindah ke timur dan  ruang pengurus  OPPM pindah ke bagian barat. Sementara qismul i’lam menyempil ke lantai 1 di Rayon RIEM bersama bagian penggerak bahasa.

Perpindahan ini, memiliki dampak tersendiri bagi sebagian santri, sbagaimana diungkapkan oleh Najib dari Lamongan.

“Yang paling membuat saya dongkol, salon gede itu diarahkan ke Bagian Penatu di Gedung Irak. Tiap pagi selalu mengganggu tidur saya dengan lagu qasidah  Nasida Ria. Masih enak tidur, ehh dengar suara  keras: Perdamaian… perdamaian. Duh kalau kaya  gini sih ngajak perang namanya”, ungkap Najib yang kini menjadi pengusaha garmen sukses di Jakarta.

Tiap pagi, tambah Najib,  saya sampai sering adu mulut dengan Arwani gara-gara posisi salón itu. Sebetulnya bukan  tidak mau kompromi kalau memang terpaksa harus seperti itu posisinya. Ya, volume dan lagunya itu yang wajar gitu.  Pagi  dibunyikan nasyid Nasida Ria.  Malam  hari diperdengarkan lagu dangdut Roma Irama. Perut saya mules tiap hari. Setelah baca Quran, Bapenat kan buka. Suara dangdut yang selalu mengganggu kerja.



Pengakuan Alumni

1.      Najib (Bagian Penatu, Lamongan)
Najib sendiri tidak pernah tinggal di gedung 17 Agustus. Maklum, santri yang satu ini lebih suka menyebut dirinya sebagai santri semi proletar. Najib tinggal di gedung Irak, di sebelah Rayon Indonesia Empat (RIEM). Malam itu, dia sempat bangun dan melihat pak Zar.

Najib, kepada para korban, menyumbangkan baju dari bagian laundry. Baju yang  sudah tidak bertuan. “Maaf, baru segitu kemampuan kami waktu itu”, ucapnya melalui group WA.

Seperti biasa, malam jumat adalah malam panjang. Anak kelas 6 baru pulang dari Mulahid muhadharah. Sementara bagian pengajaran, mungkin capek keliling ruang muhadharah sepondok. Ada teman bagian pengajaran yang suka main ke gedung Irak. Namanya Syamsul Hadi Muslim dari Jember.

Syamsul suka  menghabiskan malam panjangnya di Irak.
Bahkan sering tidur di sana. Mungkin karena ruangannya luas dan sedikit penghuninya. Apalagi  bangunannya waktu itu masih rumah joglo dan biliknya dari kayu dan bamboo. Jadi makin adem saja. Meski hanya berlantai tanah, namun kami bahagian.

Syamsul Hadi. Ceritanya, Syamsul Hadi setelah melepas penat dari Irak, dia balik ke 17 Agustus untuk ganti batu. Setelah ganti baju kebesarannya (Jas) dengan baju tidur ala kadarnya  dengan sarung, dia kembali ke Irak. Tidur di sana. Begitu kebakaran terjadi, dia bengong. Sambil cengengesan, dia bilang, “Kalau tahu mau kebakaran, ga usah ganti baju”.

Lain lagi dengan cerita Tusiran yang sering kami tulis namanya dengan bahasa Inggris “ to sea run”. Dia baru jadi bagian umum. Asalnya dari Gontor. Bagi dia, membeli sepatu kulit tentulah sudah jadi beban yang lumayan. Balum sebulan dia beli, ternyata kebakaran. Dia  menangisi sepatunya, seperti  Ghozali menangisi gitarnya.

Ustadh Farid Sulistyo (Malo), saat itu menjadi Bindep POT Khusus Ponorogo Luar.  POT ini baru saja bangga dapat memiliki lemari  baru sebagaimana POT lain.  Ternyata musibah datang dan ludeslah lemari tersebut dengan segala isinya.


2.      Rahmat Abu Seman (Bagian Pengajaran, Serawak Malaysia)
Rahmat sempat menyelamatkan buku absen kelas sore. Pada  hari berikutnya banyak santri yang  tidak hadir di kelas sore karena menyangka  tidak ada daftar absennya. Semua disidang di kantor baru. Jauhari dan Muchlisin marah sekali  kepada santri yang melanggar sampai berkali-kali menempeleng mereka.

Mengulang  kelas karena tidak naik kelas di Gontor bukan hal yang aib. Rahmat Abu Seman menyatakan, “ yang lebih saya kagumi, ada santri Gontor yang mengulang di kelas 6.  Saat itu dia sekelas dengan saya dan sekarang menjadi Pimpinan Pondok.

3.      Saifurrahman  Nawawi (Sekretaris, Madura)  
Seorang santri, sudah lunas membayar kursus mengetik, tetapi ia harus membayar lagi karena semua uang musnah.

Saya harus bekerja keras menyiapkan laporan pertanggungjawaban pengurus OPPM sebab semua dokumen habis dilahap si jago merah.

4.      Farouk Ridwan (Bagian Kesenian, Kalimantan)
Menurut Farouk waktuserah terima  jabatan uang  Bagian Kesenian, uangnya minim sekali dan peralatan serba kurang. Kondisi ini menjadikan pengurus Bakesen yang baru memutar otak bagaimana cara mendapatkan  biaya.  Farouk dan kawan-kawan menjadi kreatif. Mereka  cari uang kas,membuat buku letter dan buku cara menggambar.